Saya mengucapkan Selamat Hari Buku Nasional dan Celakalah saya karena umur saya berkurang.
Tepat
17 Mei 2017 umur saya 21 tahun diukur menurut rotasi matahari. Sebenarnya
perputaran tahun tadi hanya lingkaran sirkuit yang terus kita putari. Tidak
lebih hanya petanda, seperti Moto GP maupun F1 yang menandai dimana mereka
memulai dan mengakhiri balapan. Sama, Ulang tahun adalah momentum kita untuk
merefleksi hidup kita berawal darimana, dan sampai mana. Ya, maksudnya batasan
hidup yang kita imajinasikan bukan umur yang sudah ditentukan.
Suasana
ulang tahun penuh euphoria dan romantisme sebenarnya bukan hal yang istimewa
bagi saya, karena tiap tahun di lingkaran keluarga tidak ada yang memberi
kejutan atau semacamnya. Ucapan dan kejutan datang dari beberapa kawan dekat
maupun facebook, saya sangat mengapresiasi hal itu. Seperti Enong dalam
Maryamah Karpov, Ulang tahun baginya adalah hal yang jauh dari dirinya. Sebuah
hal yang sangat istimewa yang tidak pernah dirayakan bahkan membayangkanya pun
ia tidak berani. Kurang lebih sama.
Tapi,
lingkungan mengalineasi, kemudian memaksa untuk turut suntuk dalam hiruk pikuk
ucapan ulang tahun, kemeriahan semu, dan hiperrealitas lain. Ya, mau gak mau,
dibilang tidak mau merayakan tapi lingkungan mendukung. Mungkin ini yang
dimaksud Marcuse tentang toleransi represif. Lingkungan yang represif dalam hal
ulang tahun menjadi momok bagiku, memaksa untuk berangan-angan ada yang memberi
kejutan. Bahkan berharap lebih untuk kehidupan yang lebih baik dengan make
a wise tiup lilin ulang tahun.
Tidak
sepenuhnya perayaan ulang tahun adalah hal buruk. Setidaknya itu kulihat dari
Maulid Kanjeng Rasulullah, Isa anak Maryam, maupun Sufi Abdul Qodir Jailani.
Kelahiran orang-orang pilihan itu memberikan gelombang perubahan dalam
masyarakat. Baik Muhammad sebagai manusia maupun sebagai Rasulullah menjadi
panutan kita umat Islam dan manusia. Lalu, aku pikir patutkah untuk merayakan
ulang tahun? Bukankah Ulang tahun seseorang diperingati dan dirayakan karena
keabsahan pribadinya yang patut dijadikan panutan dan kebaikan dirinya
memancara ke masyarakat? Makanya, ulama sekelas Mbah Hasyim, Syaikhona Kholil,
Mbah Wahab dan ulama lain adalah peringatan kematian bukan kelahiran.
***
Sekali
lagi, tulisan ini adalah sekularisasi pribadi saya sendiri. Diatas adalah ranah
agama yang perlu kuberikan porsi sendiri, dan dibawah akan kurefleksikan ulang
tahun untukku sendiri.
***
Di
dunia yang semakin membuat orang optimis dan saling kompetitif, menarik diri
dari dunia untuk melihat dari sisi yang bersebrangan perlu dilakukan.
Sepertinya momentumnya pas untuk membedahnya, antara mitos ulang tahun, ulang
tahun ke-21, kado, dan refleksi diri atas dunia.
Mitos
Ulang Tahun
Ulang
tahun masih menjadi mitos bagiku, Barthes masih mengerjai dengan makna kedua
yang tersampaikan padaku. Seperti tulisanku tahun lalu, ulang tahun menjadi
other dari habitus hidup. Menjaid the other dari the
main. Jauh tak terjangkau, lebih tepatnya tidak pernah kulalui. Sampai
sekarang, pandanganku tentang ulang tahun adalah milik kelas menengah atas,
yang merayakan sembari tiup lilin, makan di restoran dan beberapa botol wine
atau semacamnya. Alam pikiran tradisional yang masih menancap ini buruk untuk
hubunganku dengan ulang tahunku selanjutnya. Apa boleh buat, pikiran menolak,
hati berkata lain.
Kado
Ulang tahun ini tetap harus dianggap
istimewa toh? Banyak perubahan dalam hidup ini yang menuntut perubahan lain.
Kepergian bapak salah satu hal yang menjadi kado dan Tjamboek Berdoeri dalam di
usia ini. Kado kemandirian meneruskan perjuangan seorang manusia yang berbeda
denganku. Bapak memberikan kado estafet perjuanganya di usia yang terbilang
masih muda. Masa aku ingin mengembara, ingin bermain-main, bertualang dan
hal-hal menyenangkan lain. Tentu sebuah kado yang istimewa dari Tuhan melalui
Bapak yang diambil dariku.
Mengambil dan meneruskan peran-peran bapak tidak mudah. Belajar
meluangkan waktu menjadi “bapak” bagi adik-adik, menjadi partner ibu dalam
meneruskan hidup. Bahkan peranya dalam masyarakat pun harus kuterima, menjadi
bapak itu gak enak. Dan kalua boleh aku mengadu pada bapak, kenapa bapak bisa
sedemikan mengorbankan pada masyarakat? Waktu, pikiran, tenaga untuk
masyarakat. Bagian kecil yang dibebankan padaku sudah terasa berat bagiku.
Meskipun dengan ini aku belajar meneladani bapak dari perannya. Kucukupkan,
kado dari-Nya memang harus diterima dengan kerelaan.
Kepergian tentu diiringi kedatangan, masuknya pribadi-pribadi yang
baru. Itulah kado lain yang diberikan semesta padaku, memunculkan nuansa uansa
baru, memberikan rona baru dalam memandang hidup. Memberikan arahan, teguran,
nasehat, candaan dan beberapa kedukaan bersama.
Perlu kuceritakan, ada perempuan yang kusayangi selain Ibu. Ia
bukan kekasihku, ia adalah perempuan yang memaksaku untuk menghela nafas, menahan
marah, meluangkan hati pula. Karena ia mampu
menjadi “rumah” untukku kembali. -Untuk dia, akan kuluangkan ruang lain-
Dekade Ke-3
Umur 21 diharapkan orang akan menjadi pribadi yang dewasa
dengan konsekuensi lahiriahnya. Tahun ini adalah sebuah letupan kehidupan.
Rentetan kejadian yang sebelumnya memuncak tahun ini. Aku yang keluar dari zona
nyamanku sendiri di pesantren dulu. Mencoba dunia yang sama sekali baru.
Menekuni dunia gerakan yang dulu pernah kukritik seutuhnya.
Satu hal yang menjadi kebaikan di tahun ini adalah
berkumpulnya aku dengan orang-orang di desa. Berkesempatan sedikit berbagi ilmu
kepada masyarakat dengan duduk bersama, sejajar, berbagi ilmu apapun, saling sambatan atas kejamnya hidup, sampai
gotong royong membangun rumah ibadah. Kusadari bahwasanya komunitas ini adalah
prototype yang mirip dengan sahabat dulu. Sebuah komunitas tradisional yng jauh
dari hiruk pikuk politis, kemurnian dan keluhuran untuk kesejahteraan bersama.
Komunitas yang kumaksud akan kujelaskan di waktu lain.
Sekian, kucukupkan. By the
way, Tulisan ini juga menjadi kado untuknya.
0 komentar: