“Tunas-tunas muda bersemi, tak guna menangis, tak guna tertawa” Iwan Fals. Sudah seminggu bapak meninggalkan kami (keluarga dan orang y...

Memoar Bapak (Pendidikan)

“Tunas-tunas muda bersemi, tak guna menangis, tak guna tertawa” Iwan Fals.

Sudah seminggu bapak meninggalkan kami (keluarga dan orang yang pernah bersinggungan denganya). Aku hanya sebagian kecil dari lingkaran kesedihan kehilangan sosok yang menjadi bapakku. Dia sebenarnya bukan dititipkan Tuhan untuk kami (keluarga), tapi untuk masyarakat. Sebagian besar hidupnya untuk masyarakat, pun untuk keluarga hanya sebagian kecil namun berkesan. Jadi, aku tidak mau egois kesedihan dan kehampaan ini bukan milikku saja.
            Bapak berpesan “Tanamkan nak, Mencari ilmu bukan untuk mencari urusan duniawi”. Pesan itu disampaikan ketika aku memakai ransel berpamitan untuk berangkat pertama kali ke pesantren. Dilanjutkan mengutip hadits “Man Araada ad-dunya fa ‘alaihi bil ‘ilmi, wa man araada al-aakhirot fa ‘alaihi bil ‘ilmi, wa man araadahuma fa ‘alaihi bil ‘ilmi”. Mungkin pesan itu adalah pesan utama bapak untukku, karena bapak bukan pendakwah bibir saja. Ia adalah laku dakwah itu sendiri. Kalau boleh kusamakan, Ia seperti Umbu Landu Paranggi lakunya adalah Puisi.
            Lihat, berapa jam bapak menjalani hidupnya untuk masyarakat. Dalam 24 jam, bapak hanya menyisahkan sepertiganya untuk dirinya dan keluarga. Sepertiga hidupnya dalam sehari hanya 2 jam untuk keluarga. Salah satu laku yang menjadi potret panutanku adalah kehausannya akan ilmu. Seperti Candu, ia menggemari ilmu tak mau lepas dari Qur’an, Kitab dan Koran. Bahkan, terkadang bapak diam-diam mengambil buku yang ada di rak buku kamarku. Seakan ingin tahu apa yang anaknya pelajari.
Pernah muncul pikiran nakal, buku Merah Magnum Opus Karl Marx kubawa pulang. Buku 3 Jilid tentang Kapitalisme itu esoknya sudah berada di lemari buku milik bapak. Ketika bapak duduk di sofa sambil memegang cangkir kopi iseng kutanya perihal buku tersebut. Ia hanya tersenyum tipis kemudian meminum kopinya. Senang bukan kepalang.
Ahttp://www.panjimas.com/wp-content/uploads/2017/01/ilmu.jpg
Ilmu menurut bapak adalah lentera utama manusia menjalani hidup. Ia tidak membeda-bedakan ilmu agama dan umum, ia setiap hari membeli koran selepas jam 9. Dari sanalah aku suka membaca, ia mencontohkan bagaimana melalui membaca manusia terlepas dari kebodohan dan kebuntuan hidup. Bapak pun menganjurkan aku untuk kuliah di universitas (sekuler), meskipun dia menempatkanku di pesantren. Ia sadar apa yang harus menjadi bekal dalam menjalani hidup kedepan. Ilmu agama dan umum (dikotomi yang tidak disukai bapak) harus jalan selaras, itu yang kusadari.
            Setiap pagi, di depan rumah setelah ngelalar hafalannya di depan meja putih terhampar kitab. Sempat bertanya kepadanya, apa yang membuat bapak seakan tidak bosan dengan ilmu. Jawabanya terletak pada Syair karya Syeikh Az-zarnuji yang dulu ia lafalkan sebelum memulai mendaras kitab. Jawabanya sederhana, salah satu 6 pedoman menuntut ilmu adalah kehausan akan ilmu.
            Aku masih tidak puas dengan jawaban tersebut. Kukejar dengan pertanyaan lain, (selama dipengaruhi oleh ilmu-ilmu kritis tidak seharusnya ilmu untuk ilmu) Apa yang kudapat? Kembali aku dikejutkan. “Ilmu untuk ilmu maksudnya ilmu dipelajari benar-benar untuk mendapatkan ilmu, menghilangkan kebodohan. Ilmu yang sudah diperoleh baru digunakan untuk yang lain, contoh membebaskan masyarakat dari kebodohan, mengangkat derajat masyarakat.” Aku manggut-manggut.

            Sambil menutup kitabnya, bapak menepuk bahuku masuk rumah. ~Memoar Bapak 1~

0 komentar: