Awal mula desa ini merupakan sebuah dusun yang termasuk dalam
bidang administrasi desa Pogar. Pogar sebagai induk dari dusun yang bernama kedungaron ini terlalu luas cakupan
wilayahnya. Sekitar tahun 1953, desa Pogar mengalami perubahan administrasi
menjadi kelurahan dan beberapa daerah yang sebelumnya berstatus dusun
menfgalamai perkembangan administrasi menjadi desa, namun dusun lain yang
bernama gragal ikut dalam peleburan dua dusun menjadi satu desa, tersebutlah
nama desa Gajahbendo.
Nama desa ini
tercetus dalam majelis permusyawaratan desa yang digelar rumah kepala dusun
kedungaron, beliau merupakan salah satu tetua yang paling dihormati di kedua
dusun. Sebelum melakukan musyawarah besar, bersama dengan warga kedua dusun,
mereka berkumpul di tanah lapang sebelah sawah dan ladang untuk sedekah bumi,
yang diharapkan acara untuk pemberian nama baru bagi desa berjalan dengan
sukses dan direstui oleh sang pencipta. Acara sedekah bumi berlangsung khidmat dan
berakhir dengan disambut kemeriahan dan kegembiraan warga atas bergabungnya dua
dusun menjadi satu desa.
Bersama beberapa tokoh masyarakat dan tetua kedua dusun, mereka
berembuk memberi nama yang sesuai dan pantas untuk bakal nama desa mereka. Salah
satu tetua dusun kedungaron mbah nolo karyo menyampaikan usulannya “kalau
melihat sejarah kedua dusun kita, dahulu sebelum para kumpeni* datang menjajah
nusantara, daerah kita merupakan daerah lumbung pangan yang menjadi andalan
salah satu kadipaten Pasuruan. kampung kita terdapat banyak pohon bendo** yang tumbuh subur di sekitar daerah persawahan
kampung, sedangkan seberang kampung adalah sebuah hutan yang dihuni oleh
sekawanan hewan liar termasuk gajah. Suatu kemarau datang lebih panjang dari
biasanya, sungai yang mengaliri hutan debitnya tinggal setinggi mata kaki,
sungai ini merupakan terusan dari sungai kita. Tumbuhan kekurangan air,
mengakibatan kekurangan pangan. Dengan menelusuri alur sungai keatas gajah-gajah
liar dari hutan seberang kampung berekspansi mencari daerah yang lebih subur, sampailah
di daerah yang sekarang kita diami ini. Karena terdapat sumber makanan yang
melimpah ruah dan sumbber air yang mencukupi untuk kawanan gajah. Mereka
memakan tanaman-tanaman petani, dikarenakan persediaan makanan di hutan yang
sudah habis. Merasa miliknya diganggu oleh kawanan gajah, para petani mulai
bergerak bersama untuk menjinakkan kawanan gajah, setelah melalui pertarungan
sengit, beberapa kawana gajah dapat ditangkap dan di ikat di pohon Bendo yang
bertekstur kuat, dan tumbuh subur didaerah kita. Maka dari itu, untuk
menghargai para pendahulu kita dalam mempertahankan diri dan daerah mereka,
sebaiknya kita gunakan nama Gajahbendo untuk desa kita, yang merupakan
singkatan (akronim dari gajah yang diikat di pohon Bendo). ” ***
Musyawarah
berlanjut, dengan beberapa sanggahan serta kritik yang dilancarkan oleh
beberapa tetua lain mengenai nama Gajahbendo. Sebuah nama yang kurang
begitu memiliki filosofi dari tujuan dibentuknya suatu desa dan mereprensatikan
tujuan para leluhur kampung. Mbah giran menyampaiakan usulan nama kedung
joyo, beliau menguraikan alasan tentang pemberian nama tersebut.
Diharapakan dengan adanya sungai yang mengalir mengelilingi hapir seluruh desa,
masyarakat akan selalu makmur jaya. Sejahtera di bidang pangan, tanpa ada
kekeringan yang berarti. Dengan kejayaan pangan (lanjut beliau menerangkan),
akan terciptanya masyarakat yang aman, tentram tanpa adanya pertikaian,
pencurian, hidup berdampingan guyub rukun sesama warga. Sungai yang
menjadi sumber kehidupan dijadikan nama agar warga desa menghargai sungai dan
menjaga kelestarian sungai.
Selesai mbah giran
menyampaikan usulan nama kedung joyo tidak ada lagi hadirin yang
menyampaikan usulan. Diputuskanlah voting diantara kedua nama tersebut. Secara
aklamasi dimenangkan oleh nama Gajahbendo sebagai desa kami. Dengan beberapa
alasan lain yang dikemukakan oleh tetua lain mengenai pentingnya menghargai
sejarah, menghargai perjuangan founding father kampung yang sudah
memperjuangkan sedemikian rupa sehingga layak untuk dihuni dengan kenyamanan
yang ada di dalamnya.
Musyawarah
berjalan dengan lancar, dengan konklusi terpilihnya nama Gajahbendo menjadi
nama desa kami. Syukuran dilaksanakan kedua kalinya dalam rangka nyelameti nama
baru dan juga terbentuknya desa baru. Individu-individu berjalan guyub dan
rukun dalam kehidupan bermasyarakat. Desa gajahbendo tetap mengandalakan sektor
pertanian sebagai penyokong utama ekonomi desa, masyarakatnya yang cenderung
terbuka, mereka memakai berbagai inovasi baru dalam bidang pertanian. Sehingga,
pertanian desa kami berkembang lebih pesat dari desa-desa lain yang tertutup
dalam menerima perubahan yang baik.
Namun,
keguyubrukunan warga desa kami terusik oleh isu-isu politik yang mengambing
hitamkan PKI, sekitar 50 orang warga PKI meninggal tragis. Kerusuhan tahun 1965
ini mencederai kerukunan warga desa, anggota PKI selalu dipandang dengan
pandangan sinis. Hal ini membuat mereka terasingkan di desanya sendiri, bahkan
teror yang digencarkan oleh pemerintah semakin membuat warga yang nonPKI
menjadi semakin memusuhi orang-orang PKI sampai keluarganya yang tidak ikut
andil dalam PKI.
Keluarga yang
ditinggalkan oleh para terdakwa PKI semakin terdesak dengan adanya perlakuan
dari kelompok nonPKI, yang semakin mengucilkan mereka dengan memboikot
rumah-rumah, menjarah harta benda mereka, melarang sekolah untuk anak-anak PKI.
Dengan tekanan yang begitu besar ini, mereka keluarga PKI yang sebenarnya tidak
ikut andil dalam pergerakan PKI berat hati meninggalkan desa mereka.
0 komentar: