Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memiliki akar sejarahnya yang panjang.
Terhitung sebelum proklamasi kemerdekaan, Indonesia yang masih disebut Hindia
Belanda berjuang menurut kedaerahan masing-masing. Organisasi yang tumbuh dari
beragam latar belakang baik kesukuan maupun keagamaan mewarnai kebangkitan
nasional. Ketika pasca proklamasi pun, Inndonesia masih belum sepenuhnya
bersatu. Konferensi Meja Bundar sebagai titik tolak pengakuan secara hukum oleh
Internasional sekaligus mengukuhkan Indonesia sebagai negara kesatuan.
Negara
indonesia yang sudah mengikrarkan diri sebagai negara kesatuan memiliki
tanggung jawab tersendiri. Seharusnya permasalahan perbedaan latarbelakang
sudah selesai. Ketika Sukarno menjadi presiden ia terkenal dengan slogannya
NASAKOM. Ia berusaha menyatukan beragam ideologi politik dalam satu kesatuan.
Toleransi yang ditunjukkan sukarno melalui sikap politiknya masih relevan untuk
diterapkan.
Cindy
Adams mencatat pernyataan Sukarno tentang pancasila, bahwasanya Pancasila
merupakan wadah ideologis dan sikap hidup bangsa Indonesia. Artinya, Pancasila
dapat diisi dengan islam, nasionalisme, maupun kearifan lokal manapun yang
tetap terikat dalam pancasila. Penyatuan ideologis politis inilah yang sekarang
dilupakan oleh masyarakat.
Lebih
lanjut Sukarno pernah menyampaikan pidatonya tentang pancasila yang mencakup
toleransi politik Indonesia. “Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan
yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan indonesia yang tulen,
yaitu perkataan gotong-royong. Alangkah hebatnya negara gotong royong!”. Jika
dimaknai mendalam, puncak dari toleransi adalah gotong-royong sebagai wujud
tercipatanya kedamaian dan kesejahteraan.
Gejala
yang terlihat hari ini, masyarakat terombang-ambing oleh isu perbedaan politik
(ideologi). Demonstrasi besar-besaran 411 dan 212 adalah contoh kongkret
terkikisnya toleransi dalam aspek politik. Kondisi ini diperparah oleh
tangan-tangan kotor yang ingin memecah belah Indonesia.
Toleransi
dalam politik cakupannya luas, baik pada tataran elit maupun akar rumput. Dalam
tataran elit, para elit politik tidak hanya bertarung berebut jabatan akan
tetapi bersatu mewujudkan kesejahteraan Indonesia. Melalui berbagai pandangan
politik yang beragam, kesejahteraan Indonesia niscaya tercapai. Pada tingkat
bawah, masyarakat umum tetap rukun dan gotong royong untuk mewujudkan
kesejahteraan bersama.
Akhirnya,
perbedaan politik seharusnya tidak membuat antar golongan berseteru. Apalagi
menunggangi agama untuk sekedar urusan politik, berebut kursi kepemimpinan.
Sudah saatnya masyarakat fokus berembuk mengupayakan kesejahteraan dan keadilan
bagi seluruh rakyat indonesia.
Miftahul Ulum, Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas
Airlangga.
0 komentar: