Gus
Dur : Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangannya
Karya
: Muhaimin Iskandar
Gus Dur, sudah jamak
diketahui peran kemanusiaanya. Banyak predikat yang dilekatkan pada sosok
kharismatik ini, dari yang nyeleneh sampai yang heroik. Tentu dalam perspektif akademis,
Gus Dur adalah seorang manusia yang tak terlepas dari kesalahan-kesalahan.
Untuk memahami gus dur saja, banyak peneliti yang mengangkat seorang Gus dur
sebagai obyek Kajiannya. Kajian yang diiteliti mulai dari pemikirannya,
perilakunya, sampai turunan-turunan dari pemikirannya yang kontroversial.
Kali ini, Gus dur akan
coba di lihat dari sisi pemikiran dan perjuangannya sebagai seorang manusia.
Karya seorang “murid” secara pemikirannya yang menulis biografinya, Muhaimin
Iskandar. Buku ini berisi pandangan, kritik, dan “kasih sayang” muhaimin kepada
guru sekaligus musuh politiknya. Gus Dur dipandang Muhaimin bukan seorang yang
penuh dengan keajaiban, tapi sisi manusiawinya. Produk-produk pemikirannya yang
ditangkap oleh muhaimin untuk selanjutnya direfleksikan dalam buku.
Membuka tulisannya, Gus
Dur dijuluki seorang muballigh
kemanusiaan. Tak seperti kiai atau orang dari pesantren yang lain, Gus Dur
lebih gemar menyampaikan isu-isu kemanusiaan daripada isu agama. Lebih jauh,
muhaimin menggambarkan gus dur tidak berhenti pada penyampaian ajaran agama
secara simbolik nan normatif. Korelasi antara Agama dan Kemanusiaan yang dibawa
oleh Islam dipandang Gus Dur sebagai satu kesatuan. Islam bukan ajaran langit
yang jauh akan realitas, tapi menganggap Islam datang untuk memanusiakan
manusia. Bukan malah memberikan kecaman dan kekangan pada manusia itu sendiri.
Turunan dari
pemikirannya akan kemanusiaan membuat Gus Dur dikenal sangat toleran. Sikap ini
yang sering kali disalahartikan oleh banyak kalangan. Baik oleh “musuh” maupun
kawannya. Masyarakat Indonesia yang plural dipandang Gus dur sebagai suatu
masyarakat yang rawan akan konflik horisontal. Perlunya Toleransi terhadap
perbedaan-perbedaan kultural yang ada dalam masyarakat. Menyikapi perbedaan
nilai yang dianut oleh masing-masing kelompok merupakan seruan yang disampaikan
oleh Gus Dur. Muhaimin menyebut toleransi yang dilakukan gus dur sebagai
Toleransi Plus. Ia berdalih bahwasanya, Gus dur tidak hanya menghormati
perbedaan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Lebih dari itu, Gus dur
menyerap dan menerima kebaikan-kebaikan yang datang dari agama dan budaya lain.
Beriringan
dengan toleransi, gus dur concern
terhadap perjuangan Hak asasi manusia. Konflik antara HAM dan agama yang
dipertentangkan oleh kaum aggamawan pada umunya ditentang olehnya. Gus dur
memandang Islam bukan sebuah agama yang memberikan kesulitan dan madharat bagi manusia. Islam datang
sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, itulah prinsip yang dipegang gus dur.
Untuk mewujudkan cita-citanya, Agama memberikan suatu jaminan dasar yang
meliupti lima hal. Diantaranya jaminan keselamatan atau kebebasan beragama dan
berkeyakinan. Kedua jaminan atas jiwa dan fisik manusia. Ketiga jaminan atas
keturunan dan keselamatan keluarga. Keempat, jaminan atas profesi dan hak milik
pribadi. Kelima jaminan atas keselamatan akal atau kebebasan berpikir dan
berekspresi.
Selain
berjuang dalam tataran kemanusiaan, Gus Dur tidak lupa akan latarbelakangnya
yang berangkat dari dunia pesantren. Konsep keagamaan gus dur bukan legal
formal yang fundamentalis. Konsep islam yang luwes, sekaligus tetap sesuai
dengan syariat yang kemudian diterapkan dalam tindakan Gus Dur. Penyikapan
terhadap realitas sosial tidak dilepaskan seluruhnya dari agama, sehingga
terkesan sekuler. Gus Dur memandang bahwasanya, masyarakat Indonesia sebagian
besar masih tradisional. Untuk itu dibutuhkan pendekatan agama terhadap tradisi
yang tidak kaku, tidak sepenuhnya menolak maupun menerima.
Pada saat itu pesantren berusaha keras untuk mendapatkan pendanaan dari
pemerintah dengan mengadopsi kurikulum pemerintah. Karena nilai-nilai pesantren
semakin luntur akibat perubahan ini, Gus Dur pun prihatin dengan kondisi
tersebut. Ia juga prihatin akan kemiskinan yang melanda pesantren yang ia lihat.
Melihat kondisi tersebut Gus Dur membatalkan belajar ke luar negeri dan lebih
memilih mengembangkan pesantren.
Akhirnya ia meneruskan kariernya sebagai seorang jurnalis pada Majalah Tempo dan Koran Kompas. Tulisannya dapat diterima dengan baik. Ia mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan itu ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan seminar sehingga membuatnya sering pulang dan pergi antara Jakarta dan Jombang.
Meskipun kariernya bisa meraih kesuksesan namun ia masih merasa sulit hidup karena hanya memiliki satu sumber pencaharian. Ia pun bekerja kembali dengan profesi berbeda untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es. Pada tahun 1974 ia menjabat sebagai Sekretaris Umum Pesantren Tebu Ireng hingga tahun 1980. Pada tahun 1980 ia menjabat sebagai seorang Katib Awwal PBNU hingga pada tahun 1984. Pada tahun 1984 ia naik pangkat sebagai Ketua Dewan Tanfidz PBNU. Tahun 1987 Gus Dur menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia. Pada tahun 1989 kariernya pun meningkat dengan menjadi seorang anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI. Dan hingga akhirnya pada tahun 1999 sampai 2001 ia menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.
Sebagai seorang Presiden RI, Gus Dur memiliki pendekatan-pendekatan yang berbeda dalam menyikapi suatu permasalahan bangsa. Ia melakukan pendekatan yang lebih simpatik kepada kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM), mengayomi etnis Tionghoa , meminta maaf kepada keluarga PKI yang mati dan disiksa, dan lain-lain. Selain itu, Gus Dur juga dikenal sering melontarkan pernyataan-pernyataan kontroversial, yang salah satunya adalah mengatakan bahwa anggota MPR RI seperti anak TK.
Hanya sekitar 20 bulan Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI. Musuh-musuh politiknya memanfaatkan benar kasus Bulloggate dan Bruneigate untuk menggoyang kepemimpinannya. Belum lagi hubungan yang tidak harmonis dengan TNI, Partai Golkar, dan elite politik lainnya. Gus Dur sendiri sempat mengeluarkan dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli 2001, MPR secara resmi memberhentikan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.
Sebelumnya, pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Setelah berhenti menjabat sebagai presiden, Gus Dur tidak berhenti untuk melanjutkan karier dan perjuangannya. Pada tahun 2002 ia menjabat sebagai penasihat Solidaritas Korban Pelanggaran HAM. Dan pada tahun 2003, Gus Dur menjabat sebagai Penasihat pada Gerakan Moral Rekonsiliasi Nasional.
Akhirnya ia meneruskan kariernya sebagai seorang jurnalis pada Majalah Tempo dan Koran Kompas. Tulisannya dapat diterima dengan baik. Ia mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan itu ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan seminar sehingga membuatnya sering pulang dan pergi antara Jakarta dan Jombang.
Meskipun kariernya bisa meraih kesuksesan namun ia masih merasa sulit hidup karena hanya memiliki satu sumber pencaharian. Ia pun bekerja kembali dengan profesi berbeda untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es. Pada tahun 1974 ia menjabat sebagai Sekretaris Umum Pesantren Tebu Ireng hingga tahun 1980. Pada tahun 1980 ia menjabat sebagai seorang Katib Awwal PBNU hingga pada tahun 1984. Pada tahun 1984 ia naik pangkat sebagai Ketua Dewan Tanfidz PBNU. Tahun 1987 Gus Dur menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia. Pada tahun 1989 kariernya pun meningkat dengan menjadi seorang anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI. Dan hingga akhirnya pada tahun 1999 sampai 2001 ia menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.
Sebagai seorang Presiden RI, Gus Dur memiliki pendekatan-pendekatan yang berbeda dalam menyikapi suatu permasalahan bangsa. Ia melakukan pendekatan yang lebih simpatik kepada kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM), mengayomi etnis Tionghoa , meminta maaf kepada keluarga PKI yang mati dan disiksa, dan lain-lain. Selain itu, Gus Dur juga dikenal sering melontarkan pernyataan-pernyataan kontroversial, yang salah satunya adalah mengatakan bahwa anggota MPR RI seperti anak TK.
Hanya sekitar 20 bulan Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI. Musuh-musuh politiknya memanfaatkan benar kasus Bulloggate dan Bruneigate untuk menggoyang kepemimpinannya. Belum lagi hubungan yang tidak harmonis dengan TNI, Partai Golkar, dan elite politik lainnya. Gus Dur sendiri sempat mengeluarkan dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli 2001, MPR secara resmi memberhentikan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.
Sebelumnya, pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Setelah berhenti menjabat sebagai presiden, Gus Dur tidak berhenti untuk melanjutkan karier dan perjuangannya. Pada tahun 2002 ia menjabat sebagai penasihat Solidaritas Korban Pelanggaran HAM. Dan pada tahun 2003, Gus Dur menjabat sebagai Penasihat pada Gerakan Moral Rekonsiliasi Nasional.
0 komentar: