Hari kelam di Gajahbendo 1965 Pemberontakan PKI tahun 1965 merupakan asal-muasal terjadinya pembantaian orang PKI terhadap aktifis PKI da...

PKI di daerah Bangil

Hari kelam di Gajahbendo 1965
Pemberontakan PKI tahun 1965 merupakan asal-muasal terjadinya pembantaian orang PKI terhadap aktifis PKI dan anggotanya –mayoritas kaum buruh dan petani-. Dalam penelusuran penulis mencari informasi tentang pembantaian anggota PKI di daerah desa Gajahbendo kec. Beji Kabupaten Pasuruan, penulis memulai untuk menggali informasi dari tetua desa dan juga menyempatkan sowan kepada bapak kepala desa, serta menanyakan sedikit informasi kepada cucu dari anggota-angota PKI. Dalam kearsipan, desa penulis memang kurang memadai sehingga tidak ada arsip tentang pembantain PKI disana.
                Tanggal 30 september 1965 pecah peristiwa mengerikan, terbunuhnya enam jendral TNI oleh aktifis PKI. Peristiwa menyebabkan pembersihan aktifs dan simpatisan PKI di seluruh indonesia, khususnya di basis-basis suara PKI. Jawa timur yang merupakan basis utama suara PKI selain tiga daerah lain, memberikan sebuah ketertarikan tersendiri kepada penulis untuk menuangkannya menjadi tulisan.
                Desa Gajahbendo, yang termasuk dalam administrasi daerah jawatimur tak luput dari kekejaman pembersihan anggota PKI. Menurut bapak hariyanto[1], beliau menuturkan bahwa warga desa gajahbendo yang sebagian besar adalah petani miskin, tertarik dengan program-program PKI yang emberikan benih murah pada petani. Timbal balik dari itu, petani memberikan suaranya ketika pemilu tahun 1955. PKI sudah mendapat hati kaum petani dan buruh dengan menduduki tiga besar partai pemenang  pemilu.
Kabar buruk dari pusat bahwa PKI telah berusaha mengkudeta pemerintah, namun gagal. Inilah yang menyebabkan para kaum militer dan islam berusaha memberangus lebur anggota PKI, tek terecuali desa penulis. Sekitar bulan oktober 1965 setelah pecah peristiwa G30S PKI menyebarlah anjuran pembantaian hingaa ke pelosok,  para petani di desa yang menjadi anggota PKI dan mempunyai kartu tanda PKI di kumpulkan di tanah lapang. Mereka diinterogasi oleh para petinggi desa, didampingi militer –kala itu- bahwa mereka sebagai anggota PKI harus dibinasakan.
Tak selang beberapa lama, satu persatu kepala para anggota PKI di penggal dengan kejam, sekitar 100-120 anggota PKI mati mengenaskan dan dikubur seketika disana. Sampai saat ini tanah lapang yang dahulu menjadi tanah pembantai anggota PKI menjadi kuburan khusus desa Gajahbendo. Menurut mbak ninik[2], ia menuturkan bahwa kakeknya dulu juga menjadi korban kekejaman para militer. Bapaknya –sutarji- merupakan orang yang sebenarnya tidak tahu-menahu tentang PKI atau partai apapun. Ia hanya tahu sebagai petni miskin, beliau menjadi anggota PKI setelah ia membeli bibit murah dari PKI dan dimintai tanda tangan yang kemudian ia disahkan menjadi anggota PKI.
Beberapa sesepuh desa pun sempat diwawancarai oleh penulis ihwal pembantaian anggota PKI tahun 1965. Mbah darmi[3] seorang wanita kelahiran tahun 1943, masih segar ingatannya ketika ditanya ihwal peristiwa ini. Beliau dengan lanyah menuturkan bahwa suaminya mbah Tarib, seorang pemuda kelahiran 1940 menjadi pemimpin para pemuda desa untuk melawan pemerintahan desa yang dianggap korup. Beliau (mbah tarib) sebagai seorang pemuda sudah diamanati sebagai pemimpin para petani desa gajahbendo. Dengan alasan PKI memberikan benih padi lebih murah dari pemerintah, mbah tarib mengomando para petani agar membeli benih dari PKI. Hal inilah yang membuat mbah tarib ikut dibantai di tanah lapang desa. Mbah darmi juga menuturkan bahwa suaminya menjadi korban pertama yang diciduk di rumahnya ketika selesai menyiangi sawahnya di rumah. Para pembantai dengan membawa senjata api dan senjata tajam menciduk suaminya dengan paksa tanpa alasan yang jelas. Mbah tarib dengan segala kekuatan memberontak bahwa ia tak bersalah, namun para pembantai sudah kalap dan menggelandangnya di tanah eksekusi. Dengan “mata kepala” nya sendiri, mbah darmi menyaksikan suaminya dipenggal kepalanya pertama kali. Dengan menangis mbah darmi tak henti-hentinya menangis. Beliau juga menuturkan banyak wanita seusianya menjadi janda “dadakan” dikarenakan nasib buruk ini tidak hanya menimpa suaminya, namun juga beberapa anggota petani yang ikut membeli benih dari PKI.
Penulis miris mendengar cerita dari orang-orang dalam lingkaran tahun 1965, hanya kekejaman yang ditunjukkan oleh elite politik saat itu. Bahkan, orang yang tidak tahu-menahu tentang duduk permasalahan yang terjadi yang menjadi korban. Setidaknya, kita dapat mengambil pelajaran bahwa masyarakat akar rumput (proletar) lebih bijak dan pandai memilih partai politik. Agar kejadian kesalahpahaman ini tidak terulang lagi. Sekian dari penulis, penulis mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya karena terdapat celah disana-sini.
               


[1] Kepala desa gajahbendo saat ini.
[2] Cucu bapak sutarji, anggota PKI
[3] Istri bapak tarib, pemimpin paguyuban petani desa gajahbendo

0 komentar: