Konsep Priyayi Secara etimologi, priyayi berasal dari kata para yayi (para adik) , yang dimaksud adalah adik raja. Demikianlah kata itu ...

Perkembangan Peradaban Priyayi

Konsep Priyayi
Secara etimologi, priyayi berasal dari kata para yayi (para adik) , yang dimaksud adalah adik raja. Demikianlah kata itu diterangkan oleh masyarakat jawa melalui jarwa dhoso, etimologi yang timbul di masyarakat luas. Benar tidaknya keterangan etimologi itu sukar untuk dibuktikan, Sebab bentuk kata priyayi tidak dapati pada teks-teks yang lebih tua dari abad ke-19. [1]Pada teks Nitisruti dan serat nitipraja para abdi raja disebut mantri atau punggawa. Pada teks jawa kuno ada kata kryan dan rakryan yang merupakan kata sebutan untuk otang uag terhormat. Kata kryan selain sebagai kata sebuta juga berarti pegawai. Namun sulit untuk melacak apakah kata priyayi berasal dari kata kryan ini. [2]
Tidak seperti halnya dengan kata bupati, yang ada bentuk-nya pada bahasa jawa kunii bhupati yangberarti memimpin, pejabat, kata priyai sukar dilacak bentuk jawa kunanya. Nnamun, etimologi rakyat yang hidup di masyarakat bahwa priyayi dari kata para yayi, sudah menyiratkan makna bahwa kata ini dipakai untuk orang-orang yang terhormat, berwibawa dan dekat dengan pejabat yang paling tinggi.
Menurut Van Niel,golongan priyayi sebagai kelompok sosial di sekitar tahun 1900 adalah golongan elit,yaitu siapa saja yang berdiri di atas rakyat jelata, yang dalam beberapa hal memimpin,memberi pengaruh, mengatur dan menuntun masyarakat. Ada ministratur, pegawai pemerintahan dan orang-orang yang berpendidikan dan berkedudukan lebih baik,mereka adalah priyayi. Pengertian yang dikemukakan oleh Van Niel itu agaknya hanya berdasarkan pengamatan terhadap golongan priyayi di daerah Gupernemen. Di daerah ini yang dinamakan priyayi itu memang penjabat-penjabat administrasi pemerintahan,terutama di lingkungan pemerintahan dalam negeri.
Dalam buku lain, Clifford Geertz Abangan santri priyayi, dia menafsirkan pengertian dari beberapa wawancara terhadap priyayi di Mojokutho. Menurutnya, Priyayi adalah seorang orang yang bisa menyelusuri asal-usul keturunannya sampai kepada raja-raja bessar jawa jaman sebelum penjajahan : yang setengah mitos: tetapi sejak belanda yang memerintah Jawa lebih dari tiga ratus tahun itu mempekerjakan kaum ini sebagai instrumen administrasi kekuasaannya. Dari sini pengertian priyayi meluas, dari yang hanya merupakan keturunan raja menjadi orang-orang yang termasuk sebagai birokrat-birokrat pemerintahan belanda akibat kekurangan aristokrat asli sudah habis. [3]
Menurut Ong Hok Ham, Priyayi adalah penguasa setempat, penghubung antara raja di pusat dan rakyat di daerah. Mereka bertugas mengumpulkan upeti, mengorganisasi kerja bakti, memobilisasi rakyat dalam peperangan, dll. [4]
            Lebih lanjut lagi, untuk mengetahui seseorang ini bergelar priyayi atau bukan dari beberapa faktor. Sartono mengutip pendapat Palmier tentang priyayi yang dibagi menjadi dua bagian yaitu priyayi luhur dan priyayi kecil. Perbedaanya memang bias, namun dapat dibedakan antara keduanya priyayi luhur yang memperoleh gelar kepriyayiannya dari keturunan (baik ayah maupun ibu) dan istrinya. Sedangkan priyayi kecil ialah priyayi sebab jabatan administrasinya. Perbedaannya juga terdapat pada rumah tempat itnggal, pakaiannya, dan gaya hidupnya.[5]
            Hether sutherland tidak mempersoalkan asal-usul keturunan priyayi, tetapi lebih menekankan pada soal priyayi sebagai kelompok sosial yang menguasai jabatan-jabatan pada administrasi pemerintahan dalam negeri. Savithri scherer dengan pasti menyebutkan golongan priyayi itu pegawai pemerintahan belanda. Hampir sama seperti palmier, scherer juga membagi priyayi menjadi dua yaitu priyayi birokrasi dan priyayi profesional. Pada bukunya kebudayaan jawa, kuncara ningat mengatakan bahwa pegawai-pegawai negeri sebelum perang dunia kedua dinamai priyayi.
Menurut Soemarsaid Moertono pda tulisannya tetang negara dan usaha bina negara di Jawa pada masa lampau menyatakan bahwa priyayi adalah lapisan sosial diantara raja beserta para bendara (keturunan raja) dan rakyat kebanyakan. Pada intinya didaerah Gupernemen, semua yang menjadi pegawai negeri disebut sebagai priyayi. Sedangkan, menurut kerajaan jawa –surakarta dan Yogyakarta- yang dinamai priyayi ialah mereka yang bekerja di kantor pemerintah dan yang bekerja di istana yang biasa disebut abdi dalem, meskipun nantinya ada pembagian antara priyayi luhur dan cilik.[6]
2.2  Pola Hidup dan perkembangannya
Dikalangan masyarakat Jawa tradisional dibedakan jelas-jelas antara kaum elit dan orang kebanyakan. Golongan elit terbagi atas bangsawan dan priyayi, yang tidak termasuk kedua golongan tersebut disebut wong cilik termasuk pedagang, pengrajin, tukang, dll. Dalam proses perkembangan po;itik pada abad ke-19 mulai ada pelembagaan di kalangan elit, suatu proses pembangsawanan (ennoblement). Pada beberapa titik perkembangan sejarah pembatasan semakin kabur karena munculnya homines novi (orang-orang baru) serta percampuran yang menciptakan situasi yang semakin kompleks.
Salah satu faktor yang menjadi petunjuk utama status ialah gaya hidup, yaitu suatu totalitas dari pelbagai tatacara, adat kebiasaan, struktur kelakuan, kompleks lambang-lambang, sikap hidup serta mentalitas dari suatu golongan sosial yang secara menyeluruh mempengaruhi kehidupannya sehari-hari. dengan gaya hidup itu dipertahankan juga prestise serta kekuasaan sosial yang sangat dibutuhkan untuk mempertahankan kedudukan politik dan ekonomisnya. Nilai yang berkaitan dengan status ialah apa yang dalam bahasa Jawa juga disebut praja dan akhir-akhir ini disebut istilah gengsi.
Hidup sebagai priyayi membawa kewajiban menjaga praja. Dengan simbolisme itu identitas lebih ditegaskan dan kelakuan mengikuti pola yang dibakukan. Dengan demikian terjaminlah kestabilan dan kontinuitas orde sosial, sehingga selanjutnya memperkuat status quo. Kesemuanya berfungsi untuk memantapkan dan mendramatisasikan pelbagai peranan dan kedudukan dari semua pihak yang ikut main. Dipandang dari perspektif ini gaya hidup para priyayi merupakan ideologi, tidak lain karena hal itu tempat mempertaruhkan pertahanan status quo yang akan dapat menjamin kelangsungan hidup kelompok, maka pada hakikatnya menjadi dasar legitimasi kedudukan kelompok.
Pada empat dekade pertama abad ke-20 ini, sewaktu kekuasaan plitik kolinial sedang memuncak dan sangat kokokhnya kedudukan para elit birokrasi, khususnya pangrehprajanya juga sangat kuat berkat dukungan penguasa kolonial itu. Politik kolonial dengan sistem pemerintahan. Di satu pihak politik kolonial itu sebenarnya bermaksud memodernisasikan sistem pemerintahan yang lazimnya didasarkan atas sistem legal-rasional, sedang di lain pihak dukungan yang kuat.
Tambahan pula, para elit birokrasi itu semakin merasakan pengaruh langsung dari pihak belanda dan pengaruh segala proses modernisasi, maka oleh karena itu mereka memerlukan penghidupankembali pelbagai nilai dan lambang tradisional rupanya untuk mengatasi adanya semacam kritis identitas. Dalam hal ini mulai tumbuh dengan kuatnya orientasi ke kerajaan-kerajaan, tidak hanya di bidanh kesenian dan adat upacara tetapi juga dalam mencari perjodohan. Disni elit birokrasi sebagai bagian dari establishment tentang menghendaki status quo, jadi bersifat konservatif.
Menurut koentjaningrat mensinyalir bahwa keluarga priyayi cenderung ke arah fertelitas yang tinggi, dilaporkan bahwa seorang bupati yang mempuyai 16 orang dari seorang garwapadmi dan 3 dari gaarwa selinya. Informasi yang berdasarkan ingatan ini kiranya tidak meleset dengan tulisan-tulisan in memoriam untuk menghormati bupati yang telah meninggal yang dapat dibaca di majalah Pandji poestaka. Jumlah antara 6-10 orang merupakan jumlah anak yang umum dalam keluarga bupati dan priyayi tinggi lainya. Besarnya jumlah anak dalam keluarga bupati dan patih tercermin juga pada potret keluarga mereka yang masih tersimpan hingga kini.
Rumah tangga bupati dan priyayi tinggi pada umumnya terpisah dari masyarakat umum karena hierarki sosial yang bersifat feodal. Tanpa kekerabatan yang besar dan luas rumah tangga. Bagi seorang garwa selir anak mempuyai fungsi untuk jaga kestabilan kedudukan ibu menjadi selir. Dengan adanya anak seorang garwa selir tidak begitu saja mudah dibuang cerai, meskipun adat memberikan garwa selir yang telah mengandung kepada priyayi bawahanya cukup populer di kalangan priyayi.
Selama istri mengandung ada berbagai pantangan yang berlaku bagi sang ayah,antara ;ian tidak boleh membubuh binatang. Menurut pandangan hidup orang jawa parangai anak di tentukan oleh tingkah laku ayah pada waktu si anak masih dalam kandungan ibunya, dalam serat poesarakrama dari karjawiredja bahkan mengatkan saat persetubuhan dan parangai suami selama bersetubuh mempengaruhi sifat anak di kemudian hari
Si ibu hanyalah merupakan wadhah belaka. Namun demikian dituntut faktor bobot, bebet, bibit. Bobot adalah karakter si ibu dilihat dari segi silsilah kebangsawananya, bebet adalah karakter si ibu dilihat dari segi harga, sedang bibit adalah karakter si ibu dilihat dari keadaan fisik, kesehatan dan kecantikan rupanya. Dalam serat nitimani dipaparkan sifat-sifat wanita yang layak diperistri, yang harus memenuhi syarat bobot, bebet, bibit.
Dalam pandangan masyarakat Jawa janin berada didalam kandungan tidak sendiri. Janin diikuti oleh kakaknya dan adiknya, yaitu air kawah (air tuban) sebagai kakak janin karena air tuban ini keluar terlabih dahulu, plasenta sebagai adik karena keluar dari kandungan lebih kemudian. Kelalaian merawat plasenta menurut kepercayaan akan menyebabkan anak sakit-sakitan. Sama seperti halnya dengan plasenta kandungan yang keguguran pun dianggap suci dan dapat melindungi keluarga.
Dengan konteks kepercayaan yang demikian, maka bisa dipastikan penguguran kandungan langka terjadi dikalangan priyayi. Untuk mengatasi hasil persetubuhan yang tidak diinginkan dikalangan priyayi dikenal adat triman, ialah isteri yang diberikan kepada priyayi bawahannya dalam keadaan mengandung.
Telah diketahui secara umum bahwa di masyarakat Jawa kelahiran seorang bayi merupakan peristiwa yang penuh upacara. Bukanlah tanpa alasan masyarakat Jawa melakukan upacara kelahiran dan kehamilan secara berlebihan. Upacara yang dilakukan itu bisa dipahami kalau diingat bahwa ikatan perkawinan di masyarakat Jawa pada jaman itu tidak sekokoh pada jaman sekarang, perceraian amat mudah terjadi. Dalam rumah tangga priyayi biasanya ada mbok emban yang bertugas mengasuh bayi dan inya yang bertugas menyusui bayi. Dengan tugas mbok emban yang mempunyai tugas khusus mengawasi bayi, masa kecil priyayi dilewati dengan disiplin tingkah laku yang ditanamkan dengan cermat, disamping itu dalam hal gizi mereka terawat pula berkat inya.
Tiadanya tradisi mbok emban dan inya pada rumah tangga priyayi kecil menyebabkan pendidikan disiplin pada rumahtangga priyayi kecil dan menengah juga kurang cermat,apalagi si ibu yang cenderung memanjakan anaknya. Dalam serat tata cara pengarang Ki Padmasoesastra menggambarkan dengan kata-kata seorang tangkilan kepada isterinya yang biasanya memanjakan anaknya.
Berbeda dengan masa kecil yang aman terlindung, maka masa remaja priyayi diliputi suasana prihatin. Masa itu dilewatkan dengan ngenger (mengabdi) baik dipesantren, pasraman dan padhepokan atau pada keluarga priyayi yang lebih atas. Banyaknya tokoh rekaan yang mengembara pada novel-novel menyiratkan bahwa para priyayi kurang terkait pada rumah tangga orang tuanya, sekaligus menyiratkan dinamika para remaja itu. Seperti telah diketahui secara umum, anak putri keluarga priyayi hidup dan dibesarkan dalam pingitan. Hal ini berbeda sekali dengan ikatan remaja putra yang sangat longgar dengan keluarganya, sehingga memungkinkan seorang remaja putra ngenger pada keluarga lain atau mengembara.
Dalam kultur priyayi, pendidikan merupakan suatu upaya pelestarian tradisi serta kesinambungannya dari generasi ke generasi. Permulaan kelakuan anak didik sesuai dengan adat istiadat, yang mengutamakan otoritas orang tua di satu pihak, dan pihak lain menurut dan mengikuti secara patuh kata orang tua sebagai “aturan emas” yang bersifat mutlak. Pengajaran anak-anak priyayi dimulai sejak kecil, ketika ia memperoleh bimbingan dari “emban”. Emban bertugas mengawasi, menemani, menyuapi, menemani setiap saat dan saat agak dewasa diberikan cerita dongeng-dongeng.
Pendidikan di lingkungan priyayi dilakukan dengan intens, karena merupakan melalui pendidikan-lah orang tua priyayi memberikan semacam doktrinasi kepada sang anak. Namun dengan sejalannya waktu dan modernisasi yang dibawa oleh pendidikan ala barat, beberapa anak priyayi memperoleh kesempatan untuk mengenyam pendidikan ala barat.
Clifford Geertz, juga menyoroti pendidikan priyayi meskipun tipis-tipis. Pendidikan diajarkan melalui guru-murid secara private, hubungan ini merupakan tulang punggung struktural. Keduanya merupakan sekumpulan hubungan pasangan antara individu guru dan individu murid, istilah yang pada akhirya relatif karena bila dua orang sedang mempelajari mistik maka secara otomatis yang lebih tinggi adalah guru dan yang lebih rendah murid. Pada intinya, Geertz berpendapat bahwa pendidikan di lingkup priyayi adalah pendidikan mistik yang diperoleh melalui semadi. Dari semedi inilah akan didapatkan “ilmu” yang menjadikannya pantas disebut sebagi priyayi.
Setelah kedatangan belanda, priyayi menurut Ong Hok Ham sama dengan Pangreh praja. Menurutnya, pangreh praja memiliki gaya hidup eksklusive dan menjadi sorotan oleh pemerintah hindia belanda. Dalam hal subsidi dan upeti mereka dibatasi (lebih-lebih setelah tahun 1870) ketika perkebunan diambil-alih oleh belanda. Dalam pola perdagangan dan hubungan pribadi (keluarga juga) termasuk dalam sorotan pemerintah.[7] hal ini yang menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut.
Dalam Pergaulan sehari-harinya, para priyayi di kota kecil sangat terbatas jumlahnya, maka dapat dikatakan bahwa skala komonitasnya tidak benar, sehingga jaringan hubungan sosial masih sangat personal serta setengah komunal. Sebagai golongan baru priyayi merupakan golongan terpandang serta berperan sebagai elite yang mempunyai kepemimpinan intelektual, para priyayi juga berperan sebagai patron dari client yang terdiri atas orang-orang yang termasuk wong cilik atau orang terkemuka di desa. Ada pula kesempatan bagi golongan bawah untuk masuk golongan priyayi dengan melewati sistem magang atau masuk sekolah.
2.3    Mencari Identitas Baru
Dengan semakin dalamnya penetrasi kekuasaan lain masuk ke masyarakat indonesia, khusunya priyayi. Modernisasi di bidang pendidikan, industri, perluasan infrastruktur, mobilisasi rakyat, dan perubahan birokrasi berdampak terhadap priyayi. Muncul golongan priyayi baru (modern) sebagai Homines novi yang memiliki kelas tersendiri dilihat dari segi pendapatannya, gaya hidupnya, dan estate baru. Faktor penidentifikasi bertambah satu, yaitu seberapa tinggi pendidikan modern yang ditempuh.

Bab 3
Kesimpulan
            Priyayi sebagai seorang elite dalam kultur jawa –khususnya jawa itmur dan jawa tengah- mengalami perkembangan. Priyayi pada intinya adalah seorang bangsawan yang merupakan keturunan raja-raja jawa sebelum kolonial datang ke jawa. Dalam strukturnya di lapisan masyarakat, priyayi memliki tradisi, pola hidup, budaya sampai peradaban tertentu. Dari awal sebelum kedatangan belanda yang masih melakukan tradisi, budaya kepriyayiannya yang dipandang halus, santun dan tinggi. Setelah belanda datang pun, peradaban ini masih dipertahankan, meskipun beberapa bagian mulai pudar atau bias. Agknya, kedatangan belanda memberikan dampak yang cukup besar dalam kehidupan priyayi.
            Belanda datang tidak hanya membawa misi ekonomi saja, namun membawa pula budaya dan peradabannya yang modern ke kehidupan priyayi. Priyayi dijadikan alat administrasi dalam upaya kolonialisasinya di jawa. Hal ini semakin menimbulkan dampak perubahan ketika belanda mengintervensi kehidupan priyayi sampai pada tingkat pribadinya. Tidak bisa dielakkan kehidupan , khususnya peradabannya turut berubah.

        

Daftar Pustaka
Kartodirdjo, Sartono. 1987 Perkembangan Peradaban Priyayi. Yogyakarta Gajahmada University Press
Geertz, Clifford. 1983 Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa. Yogyakarta Gajahmada University Press
Ong Hok Ham, 2002 Dari Priyayi sampai Nyi Blorong. Jakarta Kompas
           




[1] Kartodirdjo, sartono dkk, perkembangan peradaban priyayi (yogyakarta) 1987 halaman 3
[2] Ibid, kartodirdjo halaman 4
[3] Geertz, Clifford, Abangan, santri, priyayi dalam masyarakat Jawa (yogyakarta) 1983 hal. 308
[4] Ong Hok Ham, dari soal priyayi sampai soal abangan, jakarta 2002 hal. 10
[5] Op.Cit, Hal 7
[6] Ibid, hal 11
[7] Op.Cit, Ong Hok Ham hal 16

0 komentar: