(Sepuluh Esay Nasional Terbaik Lomba Menulis di UNJ Tentang Konsep Pendidikan) Oleh Dian DJ (Ilmu Politik UNAIR) Kawan "senasib" m...

PESANTREN TRADISIONAL” : PENDIDIKAN MURNI ISLAM NUSANTARA

(Sepuluh Esay Nasional Terbaik Lomba Menulis di UNJ Tentang Konsep Pendidikan)

Oleh Dian DJ (Ilmu Politik UNAIR)

Kawan "senasib" menjadi Santri.

Pendidikan Islam memiliki makna sentral dan berarti proses pencerdasan secara utuh dalam rangka mencapai kebahagiaan dunia akhirat, atau keseimbangan materi religious-spiritual (Ismail S.M. : 2001). Secara sederhana, pendidikan Islam sebenarnya selaras dengan ajaran Islam itu sendiri, yakni pembangunan karakter secara penuh yang ditujukan untuk membina terwujudnya insan kamil atau manusia paripurna. Pangkal dari pengertian ini adalah, tidak ada dikotomi ilmu agama dan umum. Pembelajaran dari keduanya dimaksudkan menggapai kehidupan dunia dan akhirat, sebagai kesatuan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.

Pendidikan Islam menurut prespektif Abdurrahman Wahid, tidak lepas dari peran pesantren sebagai institusi pendidikan Islam yang menjadi pewaris tradisi intlektual Islam tradisional. Dalam perjalanan sejarahnya, pesantren muncul sejak awal abad hijriyah hingga masa-masa Imperium Usmaniyah di Turki pada akhir abad 20. Di Indonesia sendiri, pesantren diyakini sebagai lembaga pendidikan tertua di nusantara. Hingga sampai sekarang keberadaan pesantren masih memiliki andil besar dalam pemberdayaan masyarakat.

Eksistensi pesantren tradisional di nusantara mulai mengalami guncangan semenjak diterapkannya sistem politik etis di Hindia-Belanda. Pelayanan pendidikan ala barat bagi pribumi merupakan salah satu dari trias politika yang digagas oleh Van Deventer. Term yang kemudian lebih dikenal dengan istilah “politik balas budi” ini merupakan hadiah bagi penduduk pribumi yang telah berbuat banyak bagi kolonial. Disamping itu, ini merupakan salah satu strategi politik Belanda untuk bisa membuat rakyat, terutama kalangan bangsawan dan tokoh agama, untuk lebih koperatif dengan cara memberikan kesempatan bagi anak-anak mereka untuk bersekolah.

Pasalnya, situsi politik masa-masa itu sedang tidak stabil. Pemberontakan-pemberontakan di daerah-daerah yang dipelopori oleh tokoh-tokoh agama semakin marak terjadi. Sebut saja, peristiwa Ciomas (1886), Pemberontakan Cilegon, Peristiwa Campa, Insiden Kiai Hasan Mukmin dari Gedangan (1904), Insiden Pak Jebarak di brangkal dan Haji Hasan di Cemareme (1919) dan seterusnya dan sebagainya. Dari berbagai gerakan-gerakan tersebut dapat ditarik simpul ciri-ciri umum yang dapat dikemukakan, yakni messianistic, millenaristic, nativisme, ideologi tentang perang suci (jihad), kebencian terhadap apa saja yang berbau asing, Magico-mysticism, dan pujaan kepada nenek moyang (Sartono Kartodirdjo : Ratu Adil. 1984). Diharapkan dengan bekal pendidikan pola barat, aspek nativisme ekstrem yang menolak segala sesuatu yang berbau barat pelan-pelan akan bisa hilang.

Terbukanya akses pendidikan lebih luas disambut baik banyak kalangan, terutama priyayi, namun tidak bagi pesantren. Sistem pendidikan model barat dengan tegas ditolak oleh pesantren. Para pimpinan pesantren masih tetap setia dengan gaya pengajaran tradisional. Bahkan, sebutan “kafir” pun dialamatkan bagi siapa saja yang mengikuti gaya hidup orang barat dalam segala bidang. Dalih mereka yang bersumber dari sebuah hadist sangat popler pada waktu itu, “barang siapa mengikuti (kebiasaan) suatu kaum, maka ia bagian dari kaum tersebut”.

Semenjak pesantren tradisional dengan kaku berseberangan dan menolak sistem pendidikan barat, dampaknya bisa dirasakan sampai sekarang. Terdapat garis pemisah yang tegas antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Pendidikan agama tidak memuat kurikulum mata pelajaran umum, meskipun ada tapi sangat sedikit, begitu juga dengan sebaliknya. Lebih memprihatinkan lagi, pendidikan pesantren tradisional dianggap bukan pendidikan formal dan statusnya tidak diakui. Contohnya seperti banyak jenderal-jenderal Hisbullah yang notabennya adalah orang pesantren tidak bisa meneruskan karirnya di tentara negara karena terhalang oleh kepemilikan ijazah. Hal itu berlaku bagi keseluruhan lulusan pesantren yang berhadapan dengan karir dan sebagainya.

Bertalian dengan uraian di atas, diskursus mengenai pesantren sebagai perpaduan sistem pendidikan Islam yang bercirikan Indonesia, menurut penulis, terdapat empat alasan. Pertama, pesanten sebagai sistem pendidikan asli Indonesia yang telah terbukti dapat melestarikan budaya lokal. Selain itu, pesantren juga berfungsi sebagai media transformasi sosial yang efektif dalam rangka pemberdayaan dan pembangunan nasional.

Kedua, sekumpulan kekuatan historik peranan pesantren bagi perjuangan kemerdekaan. Sebagaimana Resolusi Jihad yang difatwakan oleh para ulama pesantren yang digawangi oleh KH. Hasyim Asyari Jombang. Dengan semboyan “hidup mulia atau mati sahid!” telah menjadi pemicu semangat perlawanan pada peristiwa 10 November di Surabaya, khususnya umat Islam. Fatwa itu merupakan jawaban atas pertanyaan Jendral Sudirman dan Bung Tomo mengenai, bagaimana menurut Islam memperjuangkan sebuah negara yang bukan negara Islam.

Ketiga, pesantren menerapkan metode “Islam di Indonesia”, bukan “Islam Indonesia”. Metode pendidikan yang dipakai merupakan sebuah akulturasi agama dan budaya hingga membentuk kearifan lokal yang berlandaskan agama. Hal itu bisa dilihat, misalnya, dari pengajian sorogan, dan pembacaan literature-literatur ulama salaf masih menggunakan Arab Pegon. Secara sederhana, Arab pegon adalah huruf Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa Jawa atau Sunda (Wikipedia.org). Pesantren mampu membawa perubahan besar terhadap persepsi khalayak nusantara tentang arti penting Islam dan pendidikan.

Terakhir, doktrin hubungan agama dan negara. Poin ini menjadi sangat menarik untuk diulas mengingat maraknya perseteruan yang terjadi akhir-akhir ini. Hal demikian salah satu penyebabnya dikarenakan negara belum mampu secara tegas mendefinisikan pemisahan antara negara dan agama. Maraknya paham gerakan ekstrim yang menghendaki Indonesia sebagai negara Islam dalam ruang kebebasan demokrasi adalah sebuah paradoks yang sebenarnya sangat unik.

Bagaimana mengenai hal ini menurut pesantren? Tidak ada pertentangan mengenai agama dengan negara. Islam dipandang sebagai fakta kultural, bukan sebagai fakta politik kenegaraan. Meskipun pandangan ini mengalami banyak dinamika. Berbeda dengan pandangan yang menganggap Islam sebagai sebuah dogma yang harus diwujudkan dalam bentuk negara syariat, pesantren menganggap Islam sebagai ajaran yang ditujuhkan untuk mencapai kepentingan nasional. Sebagaimana kisah Resolusi Jihad yang telah diulas sebelumnya.

Kepahaman di atas selaras dengan ungkapan yang pernah ditegaskan oleh KH. Wahab Chasbullah, salah satu pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia yang merupakan himpunan pesantren-pesantren tradisional, Nahdlotul Ulama. Beliau mengatakan, “kita ini adalah orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang kebetulan di Indonesia”.

Perlu menjadi catatan, pesantren yang menjadi obyek pembahasan dalam tulisan ini terbatas pada “Pesantren Tradisional”. Penekanan ini perlu dipaparkan, mengingat sebagian stigma negatif publik terhadap pesantren secara general. Terlebih lagi banyak tuduhan miring tentang pesantren berkenaan dengan aksi tokoh teror yang diprakarsai oleh pesantren. Sehingga perlu secara spesifik penulis menggarisbawahi pesantren yang sedang menjadi bahan pembicaraan disini.

Akhir kata, kalau banyak gagasan mengenai modernisasi pesantren tradisional, menurut hemat penulis, justru sebaliknya, pola pendidikan umum lah yang harus menyerap nilai-nilai Islam Nusantara yang telah dikembangkan dan dipertahankan oleh pesantren. Biarkan pesantren tradisional mempertahankan ciri khas keindonesiaannya. Meskipun ada modernisasi dengan memasukkan kurikulum umum ke pesantrem-pesantren tradisional, harus tetap konsisten dengan garis luhur warisan pendidikan para pendahulu.


DAFTAR RUJUKAN
1. Faisol. 2012. Gus Dur & Pendidikan Islam. Jogjakarta : Ar-Ruzz Media.
2. Ismail SM. dkk. 2001. Paradigma Pendidikan Islam. Semarang : Pustaka Pelajar.
3. Kartodirdjo, Sartono. 1984. Ratu Adil. Jakarta : Sinar Harapan.
4. Faisal, Ade. Pengajian & Diskusi Atlas Wali Songo. Jakarta : HARLAH NU

Selamat Hari Santri

0 komentar: