Kota surabaya dan kota malang merupakan dua kota di jawa timur yang
kelahirannya secara administratif hampir bersamaan. Keduanya adalah produk dari
undang-undang desentralisasi tahun 1903 (decentralisatie wet 1903).
Undang-undang tersebut dibentuk untuk mengurangi kewenangan sentral yang
berpusat di negeri belanda dengan cara menyerahkan sebagaian dari kewenangan
pusat ke berbagai majelis (raad). Kelahiran undang-undang ini memiliki implikasi
yang amat besar terhadap keberadaan kota-kota di indonesia karena eksperimen
pemberian otonomi kepada daerah dilakukan di kota-kota terutama di kota besar
yang memenuhi syarat. Syarat tersebut, antara lain, adalah apakah komunitas di
perkotaan itu terdapat sumberdaya manusia yang dinilai berkemampuan cukup untuk
membenruk suatu majelis yang bisa diserahi kewenangangan menyusun anggaran
pemerintahanannya dan kemudia mengelola secara rasional.
Dengan syarat seperti itu, maka hanya kota-kota dengan porsi penduduk
eropa yang cukup signifikanlah yang bisa diberi status ekonomi.pemberian
kewenangan yang luas terhadap komunitas perkotaan itulah yang melahirkan
pemerintahan kota (gementee), cikal bakal pemerintahan kota saat ini. Jumlah
pemerintahan kota yang lahir pada awal abad ke-20 berdasarkan undang-undang
tersebut berjumlah 32 yang tersebar di jawa dan di luar jawa, termasuk surabaya
dan malang. Pada 1 April 1906 Surabaya ditetapkan sebagai pemerintahan kota
(gementee), sedangkan malang baru * tahun kemudian, yakni tanggal 1 April 1914.
Kondisi diatas menunjukkan bahwa subjek pemngembangan kota-kota di
indonesia sebelum merdeka adalah komunitas eropa. Mereka memiliki sumbanhan
yang besar yerjadap [e,nerilam karakter, perluasan ruang, penentuan penggunaan
ruang, serta perencanaan kota-kota di indonesia. dengan terbentuknya
pemerintahan kota yang independen dengan komunitas eropa sebagai pengendali
sistem tersebut maka mereka lebih leluasa dalam memperlakukan kota, walaupun
pada umumnya kota-kota yang dikembangkan adalah kota yang pada awalnya sudah
terbentuk akrena pemanfaatan termpat tersebut oleh komunitas pribumi. Secara
garis besar kota dikembangkan menjadi pusat ekonomi dan perdagangan. Dalam
konteks ini pengembangan kota diarahkan menjadi kawasan industri, kawasan
perdagangan, tempta pergantian moda transportasi untuk pengangkutan komoditi
perdagangan ke pasaran duni, pusat pemerintahan, dan termasuk juga pemukiman.
Beberapa kota di jawa yang dikembangkan menjadi kota semacam ini adalah batavia
=, semarang, surabaya medan dan makassar. Kedua, kota dikembangkan menjadi kota
peristirahatan dan pemukiman yang nyaman. Bisa disebutkan misalnya, Malang,
Bandung, Salatiga, dan lain-lain. Selain dua fungsi tersebut kota-kota
berkembang karena menjadi pusat pemerintahan kolonial lokal. Kota jenis ketiga
ini cukup banyak, contohnya Madiun, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Blitar, Dll.
Kota yang dari awal dikontruksikan menjadi pusat ekonomi dan
perdagangan dengan Kota yang dikonstruksikan menjadi kota peristirahatan dan hunian
memiliki perbedaan karakter yang signifikan dan cenderung beroposisi biner
(bertolak belakang). Sebagaian besar kota ekonomi dan perdagangan secara
geografis berada di pantai-pantai dan merupakan kota pantai (pesisir),
sedangkan kota peristirahatan dan hunian biasanya merupakan kota di daerah
pedalaman. Dari segi gepgrafis saja dua tipe kota tersebut sudah berbeda.
Menurut Peter J.M. Nas, perbedaan tersebut meliputi: Sumber-sumber penghasilan
terpenting kota pantai adalah perdagangan lalu-lintas laut dan perdagangan
pantai. Sedangakan kota pedalaman menggantungkan pada pertanian.namun demikian
perbedaan ini tidak dipandang secara absolut karena perubahan yang ada semakin
mengaburkan identitas masing-masing kota. Kota-kota pesisir dalam hal kepekaan
terhada perubahan sosial bersifat heterogenitas, sedangkan kota-kota pedalaman
bersifat ortogenitas. Kota-kota pesisir memiliki iklim sosial yang berbeda
dengan kota pedalaman. Perbedaan-perbedaan tersbut juga terlihat antar kota
surabaya dan malang.
Intensitas pengembangan kota-kota di jawa oleh orang-orang eropa
bisa dilakukan baru mulai abad ke-19. Di tengah persaingan antara belanda,
perancis, dan inggris di eropa, maka kota-kota di jawa terkena imbas dari
persaingan tersebut. Oleh penguasa belanda di surabaya pada waktu itu, yaitu
Frederick Jacob Rothenbuhler, surabaya dijadikan basis industri persenjataan
sekaligus sebagai basis pertahanan pantai dalam rangka menghadang inggris. Pada
1801 rothenbuhler mendirikan pabrik senjata modern, artellerie constructie
winkel) di kota ini dan merupakan industri senjata pertama di hindia belanda.
Keberadaan pabrik senjata ini, bisa dikatakan cikal bakal industrialisasi di
kota surabaya, dan sejak itu kota ini dikembangkan menjadi korta industri
modern di jawa. Pada masa kekuasaan deandels, pabrik senjata tersebut
diperbesar dan ditambah asrama bagi para prajurit.
Surabaya benar-benar berkembang menjadi kota perdagangan dan
industri, pada awal abad kedua puluh. Beberapa kawasan perdagangan yang maju,
antara lain, terdapat di kawasan Jembatan Merah (rode brug). Di sebelah barat
jembatan merah dan sekitarnya merupakan kawasan perdagangan yang dimiliki
orang-orang eropa. Disini berdiri Stokvis, Nederlandsche Handel Mij
(NHM), Nederlaands spaarbank (Nuts spaarbank), Handelsvereeniging
amsterdam,dll. Kantor-kantor dagang ini mengendalikan perdagangan untuk
kawasan indonesia bagian timur.
Sebelah timur jembatan merah merupakan kawasan perdagangan yang
dikuasai oleh pedagang etnis cina. Disini terdaoat beberapa ruas jalan yang
menjadi kawasan perdagangan, antara lain kembang jepun, slompretan, jalan
panggung, pasar pabean, dsb. Sejak awal golongan cina dikenal sebagai golongan
pedagang. Data statistik 1930 menunjukkan prosentase terbesar pekerjaan orang
cina di surabaya adalah sektor perdagangan dalam skala menengah dan kecil.
Selain berdagang di toko – toko yang ada
di tepi jalan, mereka juga berjualan di pasar – pasar yang tersebar di kota
Surabaya. Pada 1931 terdapat 22 pasar di seluruh kota Surabaya. Kondisi ini
menunjukkan bahwa Kota Surabaya merupakan salah satu kota perdagangan yang
paling dinamis di Jawa.
Sebagai sebuah kota industri, Surabaya merupakan kota industri
terbesar di Indonesia pada waktu itu. Ia dapat di samakan dengan kota Bombay di
India. Bahkan Presiden Soekarno yang pada remajanya bersekolah di HBS Surabaya
pernah menyamakan kesibukan kota Surabaya dengan kota New York di Amerika. Pada
awal abad ke- 20 kawasan industri Ngagel yang berada di tepu sungai Kali Mas
merupakan kawasan industri terpadu yang amat maju. Kemajuan industrialisasi di
Surabaya juga terkait erat degan majunya perkebunan tebu di wilayah hiterland
yang mencakup Sidoarjo, Mojokerto, Jombang , Nganjuk, Pasuruan, Kediri, Malang,
dll. Sejak abad ke- 19 sampai awal abad ke- 20 perkebunan tebu di Jawa Timur
merupakan yang terbesar di Indonesia. Perkebunan – perkebunan tersebut juga di
lengkapi dengan pabrik gula modern pada waktu itu. Keberadaan pabrik-ppabrik
gi\la ini memerlukan bengkel-bengkel mesin dan industri-industri mesin untuk
menyuplai industri gula tersebut. Salah satu pabrik mesin terkemuka di surabaya
adalah NV. Braat yang berada di kawasan industri ngagel. NV. Braat hanyalah
satu dari sekian pabrik besar yang ada di kawasan kota surabauya. Keberadaan
kawasan industri ngagel memperkuat citra kota surabaya sebagai korta industri
dan perdagangan.
Sebagai korta industri dan perdagangan terkemuka, kota surabaya
sudah pasti menjadi kota tujuan utama dari kaum urban. Mereka yang merasa
terhempas dari kehidupan pedesaan dan memiliki harapan baru di kota
berbondong-bondong mendatangi surabaya. Bagi yang memiliki cukup keahlian kota
merupakan harapan akan kehidupan yang lebih baik, tetapi bagi mereka yang hanya
berbekal keahlian yang pas-pasan atau tidak memiliki keahlian sama sekali akan
menjadi kota yang menyeramkan dan tidak membawa perbaikan nasib sama sekali.
Dengan demikian maka urbanisasi yang berlebih akan memiliki dampat yang amat
besar bagi wajah kota maupun bagi kehidupan sosial ekonomi warga kota. Salah
satu dampak yang paling nyata dari besarnya arus urbanisasi ke kota surabaya
adalah kenaikan jumlah penduduk yang cepat konsekuensinya adalah kebutuhan
ruang pemukiman dan kebutuhan untuk penghidupan semakin tinggi. Akibatnya
terjadi proses perebutan ruang yang amat intensif antar elemen masyarakat yang
hendak mengakses ruang kota.
Berbagai persoalan yang mengemuka di kota-kota dunia ketiga pada hakikatnya
adalah perebutan ruang kota. Ini terjadi karena kelompok-kelompok kepentingan
dari elemen masyarakat kota yang mennginginkan dan memerlukan ruang kota lebih
besar dari ruang kota yang tersedia. Hampir semua kota di dunia ketiga tidak
pernah dirancang untuk menerima lonjakan penduduk dengan jumlah yang tinggi
dalam waktu tiba tiba. Kondisi semacam ini terus berlangsung sampai saat ini
dan menjadi persoalan yang tidak bisa diurai oleh otoritas kota.
Kondisi yang cukup berbeda terjadi di kota-kota pedalaman. Embrio
kota-kota pedalaman di jawa pada umumnya berangkat dari pusat pemerintahan
tradisional. Yang dimaksud sebagai pusat pemerintahan tradisional antara lain
kota tersebut pada periode awal merupakan pusat kerajaan atau pusat
pemerintahan dalam struktur di bawahnya seperti kabupaten, kawedanan,
kawedangan, kademangan dan lain-lain. Kota-kota semacam ini bercirikan kota
feodal yang otoritas kotanya berada pada para pemimpin tradisional yang
menguasai kota tersebut. Pengaturan tata letak kota sangat tergantung pada
kpebutuhan ruang para pemegang otoritas kekuasaan tradisional setempat. Di
kota-kota kerajaan seperti yogyakarta dan surakarta masih terlihat jelas
situs-situs yang merupakan ruang yang dibutuhkan oleh keluarga raja. Mnama-nama
kampung dan jalan di kota tersebut menyiratkan nama pangeran dan keluarga raja
lainnya yang membuktikan bahwa tempat tersebut merupakan lokasi dari tempat
tinggal dari yang bersangkutan. Danurejan merupakan lingkungan atau kampung
tempat tinggal patih danurejo di yogyakarta, suryawijan merupakan tempat
tinggal kerabat keraton yang bernama suryawijaya, dll.
Kota malang dalam sejarahnya merupakan tempat cikal-bakal kerajaan
singasari yang amat terkenal. Kerajaan tersebut merupakan salah satu kerajaan
di pedalaman jawa yang cukup maju pada jamannya. Ketika kekuasaan kolonial
belanda melakukan intervensi pada kota tersebut, mereka tetap memosisikan kota
malang sebagai kota malang dengan segala fungsinya. Dengan menerusan kekuasaan
tradisional setempat, belanda menjadikan kota malang sebagai pusat pemerintahan
dengan status karesidenan. Karena perletakan geografis yang cukup tinggi dan
dikelilingi oleh pegunungan, kota ini sangat cocok dijadikan sebagai kota
hunian dan tempat peristrihatan. Pemerintah belanda tidak merancang kota malang
sebagai kota dagang dan industri. Kota ini menjadi kota hunian orang-orang
eropa para pemilik perkebunan yang kebun-kebunnya berada di sekeliling kota
malang. Kota ini dijadikan tempat tujuan wisata dan peristirahatan bagi
orang-orang eropa yang tinggal di kota surabaya. Setelah satu minggu mereka
bekerja sama mereka inginmenyenangkan hati dan pikiran. Tujuan paling tepat
untuk keperluan tersebut adalah kota malang yang berhawa sejuk dan cukup
tenang. Sebagai kota peristirahatan, kota ini mengalami perluasan fungsu sampai
ke batu yang berada di sebelah utara kota. Batu merupakan lereng pegunungan
yang berhawa lebih dingin dan amat digemari oleh masyarakat eropa yang tinggal
di surabaya.
Sebagai kota hunian, maka kota malang didesain sedemikian rupa
sehingga menjadi kota yang amat nyaman untuk tempat tinggal. Orang-orang eropa
menghendaki agar kota ini dibangun mirip dengan kota mereka di eropa. Untuk
keperluan tersebut maka kota perlu dirancang oleh seorang perancang kota.
Perancang kota yang terlibat dalam mendesain kota malang terutama kawasan
pemukiman eropa adalah Ir. Herman thomas karsten. Ia adalah seorang arsitek
ternama yang banyak mendesain kota-kota di indonesia pada awal abad ke 20
sampai jaman pendudukan jepang. Dengan melibatkan ahli tata kota, maka proses
pembangunan kota malang lebih terarah, terencanan, dan terkontrol. Hal yang
amat berbeda dengan kota surabaya. Kota ini berkembang tanpa sentuhan ahli
tatakota sama sekali sehingga perkembangannya semakin liar dan tidak terarah.
Setelah malang resmi memperoleh status sebagai gementee pada 1
April 1914, satu hal yang dilakukan oleh pemerintahan kota adalah melakukan
rencana perluasan pembangunan kota. Hal ini dilakukan agar antara proses
perluasan kota dan kebutuhan akan tanah dapat disinkronkan. Pihak pemerintahan
mengatur perencanaan perluasan kota tersebut dengan membagi menjadi delapan
bagian yang masing-masing disebut bouwplan. Dengan demikian maka terdapat
Bouwplan I-VII. Bouwplan ini merupakan pertahapan pembangunan yang bersifat
kronologis, mirip dengan Repelita pada masa orde baru. Dengan Bouwplan
tersebut, maka proses pembangunan dan perluasan kota dapat disesuaikan dengan
dana yang ada karena proses tersebut tidak berjalan sekaligus. Sistem ini
berfungsi mengontrol perkembangan dan [embangunan kota malang, menjadi lebih
terarah. Sampai-sampai orang eropa menjuluki malang sebagai Switzherland van
Java.
Diatas adalah beberapa sedikit ringkasan tentang Surabaya dan
Malang dari berbagai tinjauan. Selamat menikmati.
Oleh : Miftahul Ulum
0 komentar: