Tidak dapat
dipungkiri, lengsernya rezim orde baru membawa perubahan konstruksi sendi-sendi
bangsa Indonesia. Kebebasan yang sebelumnya dikekang, ditekan oleh rezim
setelah lengsernya orde baru kebebasan yang diidamkan bisa terwujud. Dari
berbagai sendi-sendi ini yang agaknya pantas menjadi sorotan ialah kondisi
agama dan politik paska era orde baru ini.
Untuk menganalisis
kondisi kedua aspek ini dipakailah metode komparatif. Membandingkan kondisi
perpolitikan (Politik) dan perilaku beragama (Agama) di era orde baru dengan
era setelahnya. Ini bertujuan agar diketahui perbedaan dan faktor yang
melatarbelakangi perubahan kondisi tersebut.
Pada era
lengsernya Rezim orde baru, agama yang sebelumnya mengalami tekanan dan
penyeragaman keyakinan secara tiba-tiba terurai. Ibarat pipa air, pembukaan
kran besar-besaran setelah tersumbat oleh rezim Suharto. Berbagai organisasi
keagamaan muncul, keyakinan-keyakinan dan aliran-aliran “sempalan” tumbuh
kembang bak bunga bakung di musim hujan. Agaknya kebebasan ini telah
dimanfaatkan oleh para pelaku keagamaan untuk mengembangkan keyakinan dan
alirannya.
Dalam aspek agama,
penulis lebih terfokus kepada Islam –dengan berbagai alasan subyektif.
Munculnya organisasi-organisasi keagamaan baru menunjukkan progresifitas perilaku
beragama di Indonesia mengalami kemajuan. Konsekuensinya, Pemaknaan yang baik
dan sikap saling menghargai pada multikulturalisme dan perbedaan mutlak adanya.
Tapi yang terjadi sebaliknya, kebebasan dan keberagaman yang sudah ada tidak
diiringi dengan sikap saling menghargai. Hasilnya, berbagai kericuhan timbul
akibat perbedaan pendapat dan kepercayaan.
Tercatat paska
orde baru berbagai kericuhan timbul akibat perbedaan keagamaan. Di poso
pertikaian antara penganut islam dan kristen saling membakar dan saling serang
karena perbedaan berlatar belakang agama. Keduanya mengakui bahwa kelompok dan
agamanya lah yang paling benar, sikap ini yang perlu direduksi untuk tidak
menimbulkan konflik yang berkelanjutan. Di Madura juga terjadi bentrok antara
penganut aliran sunni yang mengusir penganut aliran syiah. Sikap menghargai dan
toleransi terhadap perbedaan masih kurang, terbukti dengan banyaknya bentrokan
berlatarbelakang agama.
Sikap saling
menghargai dan toleransi terhadap perbedaan menjadi syarat mutlak untuk
menunjang perbedaan. Masyarakat paska orde baru beberapa belum siap-untuk tidak
menyebut banyak- dalam menerima perubahan ini. Mereka masih percaya pada
kesatuan kebenaran dan agama. Kepercayaan dan kebenaran di luar kebenaran
mereka dianggap sebagai salah dan harus dimusnahkan.
Penanaman sikap
toleransi dan saling menghargai perbedaan melalui pendidikan dari tingkat bawah
sampai perguruan tinggi. Hal ini diharapkan dari kecil, anak sudah mendapatkan
pengetahuan yang nantinya akan membentuk sikapnya dalam menanggapi perbedaan.
Kelak, ketika sudah dewasa berhadapan dengan banyaknya perbedaan di sekitarnya
sudah dapat menanggapi sewajarnya.
Berbagai aliran
ekstremis islam atau islam radikal juga disbeabkan oleh runtuhnya rezim orde
baru. Bagaimana ini bisa terjadi? Hal ini dilatarbelakangi oleh penekanan dan
pengebirian wewenang beragama oleh rezim orde baru. Setelah kebebasan didapat,
mereka yang berhaluan radikal mendapat ruang gerak untuk mengaktualisasikan
pemikirannya tentang Agama Islam.
Hal ini menjadi suatu keresahan tersendiri di kalangan masyarakat.
Kelompok ini ingin mendirikan dan menjadikan Indonesia sebagai negara islam.
Dan bukan tidak mungkin bila cita-cita utopis mereka tercapai. Indonesia yang
memiliki akar budayanya sendiri tiba-tiba di bawah rezim baru, rezim islam.
Demokrasi pancasila yang sudah menjadi kesepakatan bersama digugat oleh
kalangan ini, dengan dalih kebebasan berpendapat. Namun sikap sebaliknya
ditunjukkan ketika islam “disinggung” sedikit, langsung bereaksi menentang.
Islam radikal semakin menjamur dan mendapat banyak dukungan, ini
diperparah dengan doktrin-doktrin radikal yang merambah kalangan pemuda. Pemuda
sebagai motor dan memiliki semangat juang tinggi bertemu dengan doktrin radikal
menghasilkan kebrutalan yang menjadi. Salah satu buktinya, Perusakan dan
penjarahan warung-warung yang buka di siang hari pada bulan ramadhan oleh FPI.
Dengan keyakinan memiliki wewenang menghakimi dan mengadili FPI merusak dan
membubarkan pedagang yang berjualan.
Keadaan perpolitikan juga semakin karut-marut. Bukan menafikan
adanya kemajuan dan pencapaian dalam bidang politik paska orde baru. Alangkah
baiknya untuk kembali muhasabah untuk terus menuju pribadi bangsa yang
luhur. Perpolitikan pada masa Suharto yang otoriter juga memiliki kelebihan,
pemerintah dapat mengambil tindakan tegas (melenyapkan) konflik. Di era paska
suharto, selalu berujung karut-marut kondisinya. Eksekutif melawan Legislatif,
dan saling melawan diantara keduanya, seperti ditunjukkan oleh Presiden Jokowi
dengan DPR dalam proses pengesahan UU Pemilukada.
Kebebasan yang terlalu bebas membuat semua orang memperjuangkan
hasratnya untuk bebas. Bukan dalam arti yang sebebas-bebasnya, kebebasan disini
juga memiliki wilayah batas yaitu kebebasan orang lain. Lebih jauh lagi, kebebasan
ini dapat dimanifestasikan dalam kewajiban dan hak individu. Ketika Individu
atau kelompok atau subyek di Indonesia mengerti dan menjalankan kewajiban dan
hak-nya secara benar akan tercipta keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia (Sila
kelima Pancasila).
Kemajuan pemikiran dalam kedua bidang diatas tidak dapat
dipungkiri. Berbagai pendapat dan temuan baru karena kebebasan berpendapat yang
diberikan era reformasi ini (paska orde baru). Kebebasan berpendapat ini
agaknya tidak menjadi penghambat dari kemajuan. Kebebasan haruslah terus
dipupuk untuk terus mendapatkan kebenaran-kebenaran jenis baru. Dan selagi
mendapatkan kebenaran-kebenaran jenis baru ini, haruslah kita memandang ke
dalam hati untuk menerima perbedaan dan menoleransinya.
Selamat bertikai dan bertoleransi!
oleh : Miftahul Ulum (Ilmu Sejarah Unair)
0 komentar: