Layaknya permulaan perjumpaan,
aku sebagai mahasiswa baru universitas Airalangga akan memperkenalkan diriku,
Namaku Miftahul ulum lahir di kota kecil yang sedang bergeliat industrinya,
Pasuruan. Mungkin itu saja perkenalan kucukupkan sampai disini.
Kembali
kepada isi esai, sebelum aku bertutur tentang alasanku mengapa memilih Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Airlangga sebagai tempat tujuan menuntut ilmu.
Persilahkan untukku berbicara tentang masa laluku sehingga sampai pada alasanku
memilih Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga tepatnya Ilmu Sejarah
sebagai ilmu yang ingin kudalami.
Akupun
terdampar di sebuah pesantren yang terkenal di Jawa Timur mungkin Indonesia.
Tambakberas, sebuah pesantren yang cukup terkenal kemasyhurannya dalam bidang
kajian ilmu agama dan ilmu budaya yang begitu kental sebagai ciri khas dari
pesantrenku ini. Ilmu budaya pesantren masih sangat nampak di lingkungan
pesantrenku yang tercermin pada perilaku santri dan kyai. Sungguh inilah
pertama kali aku jatuh cinta pada budaya, kesempatan ini yang membukakan
cakrawalaku tentang budaya.
Meskipun
Pesantren yang mengutamakan ilmu agama, di lingkup pesantren terdapat madrasah
yang dinaungi oleh yayasan pesantren Tambakberas, Madrasah Aliyah Negeri
Tambakberas (MAN Tambakberas). Dari sini pula “jatuh cinta” pada pandangan pertamaku
berlanjut menjadi sebuah kerinduan serta kecintaan pada ilmu budaya khususnya
sejarah. Guru Bahasa Indonesia yang mengenalkanku pada sastra khusunya sastra
kepesantrenan, beliau mengenalkanku pada sosok KH. Musthofa Bisri (Gus Mus),
Emha Ainun Najib (Cak Nun), serta sastrawan dan budayawan terkenal lain dari
ranah kepesantrenan maupun nonkepesantrenan. Seperti katak dalam tempurug yang
kemudian dengan kehadiran pengetahuan ini hilanglah tempurung yang
melingkupinya.
Beriringan
dengan “suplemen” awal yang diberikan oleh beliau, aku semakin keranjingan
dengan budaya indonesia, budaya jawa khususnya. Namun tak menutup kemungkinan
untukku mempelajari budaya-budaya indonesia lain, maupun bangsa lain. Setiap
bulan pada pertengahan Hijriyah, selalu kuselakan waktu untuk mengikuti
pengajian Padhang Bulannya Cak Nun, yang bertepatan dengan dekatnya
dengan pesantrenku. Begitu mengagumiku pada sosok-sosok Budayawan dan
Sejarawan, begitu banyak buku-buku tentang kebudayaan dan sejarah yang memenuhi
almari, hingga kitab klasik (kitab wajib) yang kugunakan untuk mengaji kalah
secara kuantitas. Buku-buku karya Emha Ainun Najib dari markesot, markesot
bertutur lagi, slilit sang kiai, Tuhan pun Berpuasa, dan banyak lagi.
Buku-buku Kiai Budayawan KH. Musthofa Bisri pun tak luput dariku,
Puisi-puisinya yang bernafaskan islam maupun kritik sosial mengisi sel-sel
neuron otakku. Buku-buku Dalang gendheng Sujiwotejo pun tak kulewatkan
untuk menambah khazanah keilmuan budaya yang kuminati ini, meski lebih dulu kukhatamkan
terjemahan kitab epos Mahabharata dan Ramayana.
Kegemaranku
ini seperti gayung yang bersambut. Mendapat teman sehobi, teman yang kemudian
mencari sahabatku merangkap rekan dalam ilmu kebudayaan. Merenung bersama di
warung kopi atau di kamar yang sedang sepi. Berdiskusi tentang realitas sosial
budaya masyarakat sekitar, budaya santri / kepesantrenan, sampai
kepemerintahan. Semacam budayawan kondang saja kami kalau sudah berdua,
berdiskusi memperdebatkan masalah ini itu, kemudian bersama mencari jalan
keluar untuk masalah yang kami perdebatkan.
Sebuah
kehormatan bisa mengenalnya, Guru sejarahku. Beliau diam-diam mengamatiku sejak
awal ketertarikanku dan kemampuanku dalam bidang sejarah hingga beliau
memanggilku secara mendadak. Dengan berdebar aku menghadap dan bermonolog dalam
hati ada pa gerangan aku dipanggil. “Lum, Universitas Airlangga mengadakan
lomba olimpiade sejarah, kamu ibu tunjuk sebagai wakil dari sekolah kita dan
juga tiga temanmu sebagai patrnermu dalam olimpiade kali ini”. Dengan
tergugup karena senang atau keragu-raguanku kujawab saja “baik bu, kalau ibu
sudah memberi amanat untuk saya, saya terima dengan tanggung jawab penuh”.
Merasa
mendapat amanah yang tak mudah, aku belajar dengan sungguh-sungguh, setiap
lembar buku sejarah apapun kulahap, mereview kembali pelajaran sejarah
sebelum-belumnya. Tak kukenal rasa mengantuk dan lelah dua minggu sebelum deadline
perlombaan yang diadakan oleh Universitas Airlangga. Siang malam, kemanapun
buku sejarah yang ada dalam genggaman tangan, setelah kegiatan di sekolah
maupun pesantren kugunakan waktu sebaik-baiknya untuk mempelajari sejarah.
Sampai mata ini terpejam ketika pukul satu dinihari dan kemudian bangun shubuh,
begitu nikmatnya kurasakan mendapat kesempatan lebih mempelajari sejarah.
Dan
hari yang mendebarkan pun menyongsong. Singkat cerita, soal-soal kukerjakan
dengan teliti dan cepat serta tepat, namun mau dikata apa. Sang maha dari
segala maha Gustiku berharap lain, semifinalais yang langsung diambil sepuluh
orang dari sekitar tiga ratus orang peserta aku masuk dalam jajaran nomor ke-14
dan temanku ke-12. Sungguh hati memang terpukul telah mengecewakan amanah dari
guru serta civitas sekolahku. Namun, aku tak mau berlarut dalam kesedihan,
kuhibur dirku dengan sebuah dalil yang sering kudengar “Anta Turiid wa Anaa
uriid” yang artinya engkau punya keinginan ndan Aku(Allah) pun mempunyai
kehendak. Dan t=yang selalu terjadi ialah kehendak Allah, Gusti maha dari
segala maha. Dan semenjak itu, kugoreskan janji di hati seta pikiran, aku akan
balas dendam. Namun sebagai penuntut ilmu, balas dendamu=ku berbeda kawan,
dengan berjanji akan meneruskan pendidikan yang lebih tinggi di Ilmu Sejarah
Universita Airlangga.
0 komentar: