Sekiranya 2 tahun yang lalu musik Indie pertama kali yang kudengar, Efek Rumah Kaca. Pada saat itu juga  kiblat musik beralih ke Indie, se...

Film, India dan Indonesia

Sekiranya 2 tahun yang lalu musik Indie pertama kali yang kudengar, Efek Rumah Kaca. Pada saat itu juga kiblat musik beralih ke Indie, seperti Palestine menjadi Ka’bah. Ada beberapa hal yang patut dijadikan alasan pendukung Indie. Pertama, Unik atau bisa dibilang aneh. Semangat non-mainstream yang dibawa memberikan suntikan pada penggemarnya. Seakan mendapat pembenar atas percobaan perlawanan terhadap pusat. Lain halnya dengan Musik mainstream, Indie menawarkan nilai ndakik yang jarang dimiliki Populer.

Begitu juga dengan Film, Indie menempati ruang khusus. Kelompok yang mendaku cerdas dan segelintir mahasiswa gandrung pada garapan-garapan Indie. Alasanya sama, Unik, jarang yang tahu plus nilai ndakik yang tidak dimiliki Film Populer. Makanya, Istirahatlah kata-kata dapat hantaman dari pecandu film garapan dapur seadanya daripada masuk bioskop. Pun dengan La La Land maupun beberapa Film yang sudah memenangi Oscar.
Lalu tempat hal-hal Pop dimana? Ruang Populer semakin dicela, dikikis oleh marjinal. Sebelum jauh, kuingatkan untuk tidak berburuk sangka penulis penyokong stabilitas. Pemuja mainstream, lalu menjilat dominasi kekuasaan (lini apapun). Faktanya, Pop selalu menempati ruang-ruang terbuka dalam benak manusia. Ruang utama masih dihuni barang-barang populer, setidaknya alam bawah sadarnya. Ketika dominansi ruang utama terganggu, unstable yang terjadi, chaos. Benarkah demikian.
***
Add cahttp://wonderopolis.org/wp-content/uploads//2013/11/dreamstime_xl_9345238-custom.jpgption
Coba kita uji, ketika Dominasi kekuasaan Wilhelmina di Kepulauan Hindia diganyang Pribumi? Kekacauan terjadi, rakyat kecil yang terkena dampak kelaparan, PHK buruh sampai kesulitan mendapat beras.
***
            Makhfud Ikhwan menyentak dengan bukunya “Aku dan Film India melawan dunia”. Tercerahkan dari sana, Buku kutinggalkan untuk tenggelam dalam gemerlap Bollywood. Kembali folder Bollywood dibuka, Internet dinyalakan. Puluhan Film sudah selesai kutonton sekaligus komentarnya. Dalam konteks ini, aku bingung menempatkan dalam rak mana. Antara Populer? Atau Indie? Dari segi produksi Bollywood sudah menjadi Industri, perputaran kapital dalam Film. Tapi, untuk kalangan penikmat Film indonesia sekarang tak banyak yang menonton.
            Denys Lombard dengan magnum opusnya (Nusa Jawa) menarasikan relasi Nusantara dengan tanjung asia tersebut. Singgungan budaya berlangsung dari awal abad IV sampai kompeni ngangkang. Alhasil, Indonesia banyak dipengaruhi oleh India. Setidaknya dari Film-lah kita bisa tahu India pernah berhubungan dengan Indonesia. Melalui Bombay Velvet, Tokoh Mafia, Kiri, dan Preman (dan perempuannya) berbenturan kepentingan. Landscape Indonesia yang terpotret di daerah Bombai (Mumbai) sama dengan Surabaya pada abad 20-an awal.
            Dengan terang, kuangkat topi untuk India dalam perfilman. Produktivitas yang tinggi sampai mengalahkan Hollywood. Kabarnya sampai ribuan Film pertahun. Film Populer cinta (pasca Kuch-Kuch Hota Hei), Film Gender (Kahaani, The Dirty Picture Kahaani 2) sampai Film “kiri” (Matru Ki Bijle Ka Mandola). Belum lagi Film Heroik yang khas India, Mohenjo Daro, Bajrangi Baijan, Don dll. Representasi keanegaramaan pandangan ada dalam Film India. Orinetalisme vs Oksidentalisme, Liberal vs Komunis, Pria vs Wanita sampai Konflik beda warna baju.
            Sayang, India hanyalah negara yang pernah merasakan getirnya kolonialisasi. Maka apapun yang datang darinya masih dipandang sebagai pinggir, marjin. Pun dengan Indonesia, Kejayaan Indonesia yang terendapkan dalam mentalitas manusianya harus tenggelam. Kita adalah pusat, bukan samping. Teori Spekulatif Stephen Oppenheimer tentang Indonesia adalah Atlantis yang terkubur perlu dikaji ulang. Indonesia saatnya berdikari, berdaulat atas dirinya sendiri, independen dengan kemampuanya. Lalu sayup-sayup, Indonesia Pusaka mengalun dari samping rumah. Tanda hampir subuh.

0 komentar: