Hari
kebangkitan nasional yang akan kita peringati secara “seremonial” ini identik
dengan munculnya wacana nasionalisme atau semangat kebangsaan di Hindia
Belanda. Bermula dari pembentukan Budi Utomo yang diprakarsai oleh Sutomo dan
kawan-kawan sejawat calon dokter di STOVIA. Tanggal 20 Mei 1908 dianggap
sebagai hari kebangkitan nasional. Selain daripada itu, ada yang lebih penting
daripada membahas penetapan politis peringatan tersebut. Kita harus menjawab bagaimana
kembali membangun nasionalisme.
Secara historis, nasionalisme Indonesia merupakan antithese dari kolonialisme yang
dilancarkan Belanda. Pertanyaan timbul ketika pandangan tersebut diwacanakan
kembali di era kekinian. Adakah nasionalisme macam itu, masih relevan? Apabila
tidak relevan, nasionalisme macam apa yang berkembang saat ini? Dan bagaimana
membangkitan, menumbuh-suburkan nasionalisme pada warga negara indonesia
khususnya mahasiswa?
Menurut Slamet Mulyana, Nasionalisme adalah bentuk
manifestasi dari kesadaran nasional dalam pengabdian kepada bangsa dan negara.
Nasionalisme yang mulai luntur menjangkiti sebagaian mahasiswa di era kekinian.
Terlihat mahasiswa semakin kurang peduli dengan rakyat, acuh akan ketidakadilan
yang merajalela, sekaligus membiarkan keadaan bangsanya yang merana. Bilamana
mau menengok sejarah sedikit, mahasiswa atau pemuda pada masa pergerakan
benar-benar radikal dan fanatik untuk urusan nasionalisme.
Dalam sejarahnya, pemuda atau mahasiswa memiliki peran
besar dalam perubahan dan kemajuan terhadap Indonesia. Memang pada masa
pergerakan sampai kemerdekaan, Mahasiswa melawan kolonialisme yang benar-benar
nampak merongrong rakyat. Tapi sekarang, “musuh” kita adalah bangsa kita
sendiri yang terjangkiti kolonialisme dan imperialisme. Hal ini yang membuat
perjuangan lebih berat, seperti kata Bung Karno “perjuangan kalian akan lebih
sulit, karena musuh kalian adalah bangsa kalian sendiri”. Keadaan di atas yang
sering disebut sebagai nasionalisme bebas.
Perjuangan kita sebagai mahasiswa lebih sulit lagi dengan
adanya keragaman ideologi dan kepentingan yang berkembang di kampus. Sebenarnya
hal ini bukan menjadi penghalang yang berarti kalau saja kesadaran akan
kesatuan bangsa, keutuhan bangsa dan kemakmuran bangsa lebih diutamakan. Sikap
pengutamaan bangsa diatas segala kepentingan kelompok, ideologi atau bahkan
agama.
Sikap
ini sudah diperjuangkan oleh para pendahulu kita, melalui Perhimpunan Pelajar
Indonesia. Fusi yang dilakukan oleh Jong Java, Jong Celebes, Jong sumatra,
organisasi pemuda lain untuk mewujudkan visi yang satu. Disadari bahwa egoisme kedaerahan
yang terwujud dalam organisasi melemahkan perjuangan mereka. Akhirnya,
dilakukan peleburan organisasi kedaerahan menjadi kesatuan organisasi untuk
memperjuangkan kemakmuran Indonesia.
Perjuangan akan kesadaran nasional tidak berhenti disana,
kampus sebagai lembaga pendidikan bertanggungjawab atas nasionalisme
mahasiswanya. Tidak cukup hanya dijadikan sebagai mata kuliah, lebih dari itu
harus ada esensi nasionalisme yang dikembangkan di kampus. Melalui pembelajaran
di kelas untuk tiap mata kuliah, dan penanaman kesadaran berbangsa di organisasi-organisasi
yang berada di naungannya.
Kekhawatiran saya sebagai mahasiswa, akan lebih banyak
mahasiswa yang tak peduli akan bangsanya. Bagaimana bangsa ini akan diarahkan
adalah tanggung jawab besar kita semua. Runtuhnya bangsa bukan hanya karena adanya
pemberontakan, tapi karena keacuhan warga negaranya. Mari kawan, kita lihat
pendahulu kita dalam mewujudkan kesatuan bangsa Indonesia. Kesampingkan sejenak
urusan pribadi atau kelompok kalian untuk memperkuat rasa kesatuan dan
persatuan menuju Indonesia yang makmur.
Setidaknya,
bercerminlah pada masa lalu, pada perjuangan pahlawan dan pendahulu kita.
Semoga kita mendapat perspektif dan ingatan kolektif bangsa tentang apa dan
bagaimana kesadaran nasional itu diberi konteks kekinian. Bangkitlah bangsaku,
bangkitlah mahasiswa!
Pernah
disampaikan dalam Diskusi kritis HMD Ilmu Sejarah Unair
Mahasiwa Ilmu Sejarah
Universitas Airlangga.
0 komentar: