Muslim mana yang tak terenyuh hatinya mendengar lantunan “ajakan” ke baitullah. Undangan eksklusif langsung kepada seluruh umat...

Tentang Trend dan Haji

            Muslim mana yang tak terenyuh hatinya mendengar lantunan “ajakan” ke baitullah. Undangan eksklusif langsung kepada seluruh umat islam untuk beribadah, berserah pada-Nya. Sedangkan Umat Islam yang belum mendapat panggilan juga tetap merayakan Idul Adha, sholat ‘id bersama, sekaligus menikmati daging bersama. Kasus-kasus tahunan nan periodik ini seringkali dibahas, dan mungkin hanya pengulangan pembahasan saja. Akan tetapi, ada beberapa pertanyaan yang dapat terus diajukan. Sama halnya mempertanyakan keimanan kita setiap hari, bukan?
            Masihkah momen idul adha memberi nilai tambah sosial kita? Masihkah hasil berdampak langsung pada masyarakat? Ataukah hanya kesolehan individual yang memanfaatkan momenberbagi melalui Qurban? Masihkah relevan memenuhi undangan Allah berkali-kali, sedang tetangganya belum mencukupi kebutuhan pokoknya. Atau Ibadah puncak kesolehan itu sudah dipergeserkan maknanya? Bentangan sejarah dalam pelaksanaan haji perlu dipaparkan untuk melihat pola dinamika Haji di Indonesia.
            Haji dilakukan oleh uamt islam di Indonesia mulai abad XVI awal melalui kabar Ludivico di Varthema. Ia adalah orang Roma pertama yang mengunjungi Mekkah, mengabarkan bertemu dengan orang Nusantara (Shaleh Putuhena : 2007). Kemungkinan  orang-orang yang ditemui Ludivico di mekkah adalah generasi awal orang Nusantara yang melaksanakan Haji. Akan tetapi, menurut Shaleh bahwa tujuan utama mereka ke Mekkah bukan semata-mata untuk Haji. Mereka adalah para pedagang, utusan sultan (Mataram : red), dan pelayar yang berlabuh di Jeddah. Kesempatan itu digunakan sekalian untuk Haji, salah satu utusan sultan itu adalah Sunan Gunung Jati.
            Perlu dicermati ketika Pemerintah Kolonial Belanda mulai “mendiami” Hindia Belanda, pada abad XVII-XVIII Ibadah Haji belumlah “populer” untuk umat Islam. Barulah ketika Syekh Umar Bugis mempromosikan Haji dengan kemudahan yang ia berikan. Sebelumnya, Muslim di Hindia Belanda menumpang kapal-kapal dagang untuk melaksanakan Haji. Pelaksanaan ibadah haji dipersiapkan secara pribadi, belum terkoordinir.
            Selain karena alasan perdagangan, Haji pada abad XVIII awal juga menjadi pelengkap bagi pelajar dari Nusantara. Para pelajar yang berangkat ke Mekkah untuk mendalami agama islam, berkesempatan pula untuk Haji. Sekembalinya mereka ke Nusantara, Ilmu yang diperoleh disebarkan kepada masyarakat. Mungkin, darisanalah timbul persepsi “pengagungan” pada orang yang sudah melaksanakan Haji. Memang generasi haji itu secara keilmuan mumpuni dengan menimba langsung di pusat studi islam. Bisakah kita samakan dengan kondisi generasi Haji sekarang?
            Menarik jika ditinjau lagi faktor-faktor yang menjadi daya tarik Ibadah Haji bagi muslim di Hindia Belanda. Beberapa penelitian dan laporan yang dilakukan oleh peneliti Belanda dapat dijadikan acuan untuk mengetahui motivasi untuk Haji (Sholeh Putuhena : 2007). J. Wolff seorang konsul belanda mengabarkan bahwasanya 90% jamaah haji Hindia Belanda terdiri dari “orang kecil”. Menurutnya, mereka memeiliki kesederhanaan jiwa, tidak memiliki semangat keagamaan berlebihan, dan berketetapan untuk melaksanakan ibadah Haji. Intinya, mayoritas jamaah haji pada awal abad XX adalah mereka yang benar-benar melaksanakan haji, tanpa pretensi apapun.
            Lain pula Hurgronje (orientalis Hindia Belanda) menganggap bahwa hasrat muslim pribumi melaksanakan haji karena ingin mendapatkan kehormatan. Tambahnya, beberapa diantaranya bertujuan untuk menuntut ilmu sembari melaksanakan Haji. Ia juga menambahkan bahwa Jamaah Haji nusantara yang masih muda bertujuan untuk menambah pengalaman dengan menambah dunia luar. Terakhir, Hurgronje sedikit “nyinyir” kepada jamaah haji nusantara. Jamaah haji nusantara dianggap menjadikan Haji sebagai “pelarian” dari kekecewaan mereka atas kegagalam urusan duniawi. Haji dijadikan jalan sebagai penenang atas kekalahan mereka. Tentunya hal ini tidak bisa dipukul rata kepada semua jamaah haji.
            “Kembali ke Laptop”, realitas saat ini Haji memiliki banyak persepsi dan banyak pihak yang berkutat di dalamnya. Masalah-masalah teknis administratif sampai masalah privasi  motivasi jamaah untuk melaksanakan Haji. Pergeseran makna Haji dari ibadah ritual yang sakral menuju ritual seremonial yang profan. Tentu asumsi ini mudah saja dipatahkan melalui pembenaran dalih Ibadah Haji sebagai rukun Islam ke-5. Akan tetapi yang menjadi sorotan kita adalah perilaku sosial jamaah haji yang seringkali lebih mengutamakan kesalehan pribadi (langit) daripada kesalehan sosial (bumi).

            Perilaku-perilaku seperti berhaji berkali-kali hanya untuk menambah status sosial di masyarakat. Atau hanya digunakan sebagai upaya politis untuk menggaet suara kalangan muslim. Seperti yang dilakukan Suharto, ketika melaksanakan Haji di akhir periode jabatannya sebagai Presiden (Historia : 2012). Selayaknya, para Jamaah Haji yang selesai bermuwajjahah dengan Haromain, mengalami suatu transformasi langit menuju bumi. Haji memberikan pemantik terhadap kepekaan sosial, bukan menambah jauhnya jurang antara yang “mampu” dan tidak mampu. Pernah suatu kali, seorang sahabat nyeletuk “buat apa haji berkali-kali, tapi kepada tetangganya masih bertengkar, apa guna haji berkali-kali kalau untuk menengok keadaan tetangganya masih enggan.” Terlepas dari itu semua, semoga seluruh umat islam yang telah melaksanakan Haji diterima ibadahnya dan menjadi Haji mabrur dan Haji sosial.

Kader PMII Universitas Airlangga.

0 komentar: