Jangan cemas kalau kalian tak menemukan orang pintar di Surabaya. Ingat? tokoh Minke dalam Magnum Opus- nya Kamrad Pramoedya?  Pasti dong. A...

Surabaya, Kota Pendidikan?

Jangan cemas kalau kalian tak menemukan orang pintar di Surabaya. Ingat? tokoh Minke dalam Magnum Opus-nya Kamrad Pramoedya? Pasti dong. Atau, atau Sukarno muda, atau Sekarmadji Kartosuwiryo (teman sekos-nya sukarno) atau semaun? Atau Hadji Oemar Said Tjokroaminoto? Kiai Wahab Hasbulloh? Atau ah, sudahlah tak cukup blog-ku kalau kutulis semua. terpenting adalah kalian tahu bahwa Surabaya adalah kota pendidikan, Oraig? Oh, kalian tak setuju? Ya, okelah kalau kalian menganggap Malang atau Ngayogyakarto Hadiningrat sebagai kota pendidikan. So let me introduce my town (or city?)!

This is it!

Kumulai dari NIAS, kalau kalian ingat lagi, di Novel yang kedua (tetralogi Buru) Pram mengantarkan Minke ke NIAS. Nederlandsch Indische Artsen School. Sekolah bagi pribumi yang pengen memperbaiki (pangkatnya, status sosial) keadaan bangsanya menjadi dokter. Disinilah Minke mulai bermetamorfosa (ah, lebai) menjadi seorang intelektual sekaligus jurnalis. Meskipun pada akhirnya ia ditelan gulungan waktu, kalau saja tak di"abadi"kan Pram. 

Selain itu, tak lupa dari kalangan politikus, Tjokro yang notabene seorang anggota volksraad (DPR kalau sekarang) punya kos-kosan di kawasan Peneleh. Meskipun cuman kos-kosan, yang nge-kos bukan semacam kos-kosan jaman sekarang. Penyewa kos-nya mungkin yang beda, atau jamannya, atau pemiliknya, atau bangunanya, atau pendidikannya, atau ah sudahlah. Pokoknya, bukan seperti kos-kosan yang biasa buat mahasiswa esek-esek sama pacarnya.

Dari sana terlahir beragam tokoh intelektual dan politikus yang tadi kusebut diatas. Ketiganya (Sukarno, Semaun, Sekarmadji) adalah "murid" politis dari Tjokro.Yah, mereka tiga anak yang unik. Mereka beri-ideologi sendiri dan konsisten akan pilihan mereka. Tak seperti mahasiswa (siswa) sekarang yang mikirnya di kos nonton film esek-esek atau ya buat sendiri aja. Heuheu. Tuhkan aku ngantuk. Maaf. Tjokro berhasil menyuplai anak kos-nya dengan dengan tindakan langsung bagaimana harus menjadi tuan di negerinya sendiri. and, Violaaaa, mereka kelak menjadi tokoh pemberontak Imperialisme.

So? kalian masih tak percaya? Oke kita bandingkan dengan malang dulu. Tahun 1914, malang baru saja menjadi Kota Madya (Gemeente) dengan alasan Malang pantas dijadikan hunian Elite buat Sinyo . Mereka berbondong-bondong membangun pemukiman dan segala aspek penunjang untuk hunian yang melenakan. Sampai masa revolusi (Pemerintahan sukarno), Malang ya begitu-begitu saja lembaga pendidikannya. So, Malang sudah kelampau jauh oleh Surabaya. Oke, kita lewati.

Beranjak Ke Ngayogyokarto. Memang ada MULO (yang sekarang jadi UGM), tapi kalau dibandingkan sekarang, MULO itu semacam SMP lah tarafnya. Tapi jangan kalian tanya kualitas MULO (SMP jaman dulu) dengan SMP jaman sekarang yang soo biutiful indah (SBI). Bapak Pendidikan kita juga merintis sekolah dasar pribumi di Jogja yang kita kenal Taman Siswa. Atau bapak Pencerah yang membangun sekolah bagi yang pengen belajar islam (modern). Selebihnya ya, Keraton. Pendidikan hanya dicicipi oleh yang mampu, kolega keraton (Priyayi) dan Ambtenaar. Rakyat biasa, mbelangsak sana!!

Memang, pendidikan tidak hanya diukur dari seberapa banyak lembaga pendidikan (formal). Tapi lebih dari itu, Pendidikan berbicara tentang perubahan dari ketidakmengertian menjadi mengerti, keburukan menjadi kebaikan, ketidakadilan menjadi keadilan. Surabaya, sudah lama mengalami itu. Dari ketidakmengertian akan siasat buruk belanda, melalui pendidikan yang dikasih sekedarnya oleh Belanda, kaum Boemi Poetra jadi ngerti. Pandangan mereka (kaum terpelajar) terhadap dunia berubah, pandangan mereka terhadap diri mereka (Boemi Poetra).

Surabaya-lah, cikal bakal pergerakan Indonesia, buah awal dari perjuangan bangsa Indonesia. Jadi, masih ragu kalau surabaya Kota Pendidikan? ah, sudahlah. lagi-lagi, itu permasalahan politis. Kita ngomel sendiri aja-lah di sini.

0 komentar: