Sekarang kita lanjutkan perbincangan kita perihal surabaya. Kemarin kukisahkan kepada kalian bahwasanya Surabaya dinarasika...

Pembacaan realitas Surabaya II

                Sekarang kita lanjutkan perbincangan kita perihal surabaya. Kemarin kukisahkan kepada kalian bahwasanya Surabaya dinarasikan sedemikian unik oleh Silampukau. Kali ini kita gunakan perspektif sejarah, bukan sebagai peristiwa tapi sebagai butir fenomena sosial. Yuhuu, tulisan ini bukan melulu akademis, ada sedikit sentilan-sentilan yang GJ biar nulisnya kayak orang main pokemon-GO habis nemu pokemon.
                Surabaya, sebuah kota yang kukenal dulu jaman aku masih pake seragam merah-putih melalui teks pelajaran. Ibukota Jawa Timur. Hanya itu informasi yang kudapat, dan dari situlah ada sedikit getar tentang kota itu. Kemudian, aku baru mengenal surabaya lebih jauh saat masa SMA. Yah begitulah, berbeda dengan anak SMA di luar, aku hanya tahu surabaya melalui kisah-kisah yang dituturkan orang lain.
                Aku bersentuhan langsung dengannya, ketika mulai dikukuhkan jadi mahasiswa. Surabaya kupandang sebagai sebuah kota yang menarik, selain Jogja tentunya. Dengan sederet arsitektur kolonial yang berjajar di sepanjang jalan Darmo sampai Jalan Basuki Rahmat (Tunjungan Plaza). Kudapati deretan bangunan khas Gotik abad 18-19 itu dari Jendela Bus Kota surabaya yang pernah Jaya (untuk menghaluskan bahwa mereka sudah udzur). Kagum, kedua melalui taman pelangi yang berada di tengah jalan yang melingkarinya. Tugu yang berjajar miring seakan membentuk tangga nada dihias lampu kerlap-kerlip menyilaukan pandangan anak desa ini.
                Sudah sampai disitu. Setelah menekuri teks-teks sejarah surabaya, terutama aspek sosiologi kota, kuputuskan untuk menelusuri secara langsung. Hitung-hitung ini sebagai pembuktian secara “empiris” dan mengasah jiwa riset. Wkwkwk. Kususuri sepanjang Kalimas dengan sepeda hasil pinjam tetangga (belum beli sepeda). Rute kuambil dari tempat tinggal ke arah barat, lewat jalan Pemuda yang ditandai dengan MonKaSel. Aku berhenti sejenak, untuk menatap satu-satunya Monumen Kapal Selam di Asia tenggara (menurut informasi yang baru-baru ini kudapat dari hasil seminar “panggilan” disana).
                Kuteruskan perjalananku sampai di Jembatan Merah Plaza (JMP), kenapa kupilih langsung kesini? Karena menurut teks yang kubaca (kalau pengen tahu, baca Howard Dick tentang Surabaya kota Pelabuhan, atau Purnawan Basundoro Dua kota Tiga Zaman) bahwa JMP dulunya sebuah pusat industri, perdagangan dan pelabuhan di Hindia Belanda sampai mangkatnya Belanda. Pokoknya pusat kapitalisme kelas menengah awal di Hindia Belanda ya di Surabaya, JMP tepatnya.
                Mungkin lain kali kutambahkan peta JMP, sekarang coba kujelaskan posisi JMP. Berbentuk segi empat yang kaku, dengan dikelilingi bangunan-bangunan bergaya eropa yang gagah. Di sisi timur mengalir sungai Kalimas, yang memisahkan JMP dengan Kya-Kya (sebutan Dahlan Iskan untuk Jalan Kembang Jepun), sisi barat berdiri Penjara Kalisosok (konon penjara adalah sebuah simbol modernitas di Hindia Belanda, karena dulunya keamanan kerajaan tidak mengenal polisi dan penjara). Di sisi utara dan selatan merupakan perkantoran yang dulunya juga perkantoran milik kalangan kulit putih.
Oh, iya, pada saat Pemerintah Belanda belum mengambil alih secara administratif, kawasan JMP diisolir dari sekitarnya dengan  Tembok. Nah, dari sana ada istilah kota dalam dan luar. Kawasan JMP merupakan perumahan sekaligus perkantoran dan pusat bisnis di Surabaya untuk orang kulit putih. Tembok, kujelaskan sedikit bahwa tembok untuk membatasi wilayah orang kulit putih dan inlander. Menurut teks dari Purnawan, inilah ciri khas kota kolonial yaitu adanya segregasi ras dari aspek tempat tinggal. Kalau pakai bahasa yang nyeleneh, ini sifat orang eropa yang paranoia-nya kebangetan.
Surabaya, berkembang pesat melalui perdagangan dan bisnis antar kawasan. Menurut Howard Dick, Surabaya awal abad 19- akhir abad 20 lebih ramai dari Singapura, Bombay, atau Pelabuhan besar lain di Asia.Sebagai pusat perantara barang produksi dari daerah penghasil di jawa timur (Sebut saja Gula, Kopi, Teh) pasca diterapkannya (sistem) tanam paksa. Terutama Gula yang memberikan sumbangsih besar terhadap perekonomian kolonial, sampai-sampai berhasil membawa Belanda membangun negerinya. Masih tersisa puing-puing kenangan kejayaan itu. Hotel IBIS yang berdiri tepat di taman JMP yang dibangun akhir-akhir ini oleh walikota taman *upss. Indah, megah, kaku, sekaligus sombong.
Kearah timur, menyebrangi sungai kudapati deretan pertokoan sepanjang jalan sampai jalan kapasan. Berdiri rumah-rumah sekaligus toko, mungkin ini sudah beberapa kali dipugar pasca revolusi. Sebab sudah mulai pudar gaya arsitektur kolonial serta sentuhan cina di sini. Padahal, dulunya kawasan Kya-Kya ini dikhususkan untuk kalangan timur asing dari Cina. Mereka mendapat tempat khusus di tubuh pemerintah sebagai penarik pajak, atau sebagai pedagang.
Kawasan ini kutemukan dalam film-film garapan Hollywood atau eropa, yang menampilkan landscape kota yang teratur. Dengan petak-petak seperti lego yang tertata rapi dipisah jalan-jalan yang lebar. Dikisahkan bahwasanya, selain menjadi perkantoran, lantai satunya dipakai untuk toko. Jadi orang-orang bisa lewat, sambil melihat-lihat barang yang dijual melalui kaca besar tembus pandang. Khas Eropa kata Dosenku, pertokoan berjajar yang dilalui orang sambil jalan-jalan. Berbeda dengan Mall yang khas Amerika.
Seperti terlempar (lagi) aku akan kisah-kisah yang kubaca, kudengar atau kutonton mengenai eropa yang megah, kaku, sombong, sekaligus menawa. Sebuah daratan yang penuh dengan kemegahan bangunan, secara fisik (orang dan bangunan) maupun psikis (mental dan intelektual).  Kutemukan kisah-kisah kecil penderitaan Inlander Jawa, dan kemegahan eropa dari Arsitekturnya di JMP. Tentang paranoia-nya mereka atas orang jawa, dan kecerdikan mereka meng-kadal-i kita. Kucukupkan kisah ini, esok kita sambung. Bagaimana aku masih menutup mata akan kemegahan mereka dan tetap berbangga-bangga pada diri sendiri?

#SurabayaArsitektur

Surabaya, 27 Juli 2016, (03.18)

0 komentar: