Berbicara tentang Yogyakarta, seringkali orang berpandangan bahwa Daerah ini merupakan daerah yang istimewa. Tidak salah jika...

Perkembangan Sosial di Yogyakarta


            Berbicara tentang Yogyakarta, seringkali orang berpandangan bahwa Daerah ini merupakan daerah yang istimewa. Tidak salah jikalau memang realitas yang terlihat menunjukkan eksistensi Yogya sebagai kota yang istimewa. Keistimewaan ini meliputi berbagai bidang di dalam masyarakat maupun dalam pemerintahannya. Dilihat dari bidang sosial, yogya mengalami perubahan yang unik setelah melalui pelbagai jaman yang membuatnya seperti adanya sekarang.
            Dalam pembahasan mengenai perubahan sosial di Yogya, kita tidak dapat melepaskan satu kajian yang berkualitas dari Selo Soemardjan. Bukunya yang berjudul Perubahan sosial di Yogyakarta mengupas perkembangan sosial yang terjadi di Yogyakarta. Periode yang dipakainya ketika masa akhir pemerintahan Hindia Belanda (1938) sampai tahun (1958).[1]Pembabakan yang menarik, karena masa 20 tahun ini meliputi jaman-jaman yang mempengaruhi secara langsung terhadap perubahan masyarakat di Yogya. Untuk lebih memperjelas pembabakan ini, Selo membagi dalam beberapa bab yaitu, perubahan pemerintahan, pemerintahan dan masyarakat, peruabahan sosial dan ekonomi, dan pendidikan, serta dia memberikan kesimpulan di akhir  untuk usulan teoritis kajian sosial.
Perubahan Pemerintahan
            Pembahasan dimulai dari habitat (meliputi pembagian wilayah pemerintahan, penduduk, dan perhubungan) masyarakat Yogya. Habitat ini yang menurut Selo menjadikan ciri khas tersendiri dari Yogya. Pembagian wilayah yang disebutkan mencakup bagian administratif dari Yogya, kemudian penduduknya yang memiliki ciri berbeda akibat dari adanya Sungai-ungai yang membelah Yoya. Terakhir, perhubungan masyarakat Yogya jelaslah melalui darat, karena tidak memungkinkan adanya pelabuhan di dekat samudera Hindia, sekaligus sungainya terlalu sedikit debit airnya untuk dilewati kapal.[2]
            Pada masa akhir Kolonial, Perubahan sosial yang terjadi di Yogya terlihat bahwa Kelas sosial tertinggi diambil alih oleh Orang Belanda. Dalam beberapa protokol acara, orang-orang belanda menempati kursi yang oebih terhormat dibanding bupati. Selain itu, orang belanda juga turut memiliki hukum tersendiri. Ini menandakan adanya perubahan tingkat sosial yang sebelumnya kasta tertinggi dipegang sultan berubah menjadi miliki Belanda. Namun, yang mencolok adalah kelas priyayi Yogya yang asli lebih berkiblat pada sultan (yogyakarta) dalam hal tingkah laku, sedangkan kelas menengah lian melampaui batasan di luar yogya. Hal inilah yang membuat perbedaan diantara keduanya.[3]
            Berbeda halnya dengan masa kolonial belanda, pendudukan oleh Jepang membuat perubahan yang siginifikan. Tidak hanya di tingkat politis, tapi juga menyangkut sosial secara luas. Perubahan ini diprakarsai oleh Sultan sendiri, ketika Jepang menduduki Yogya sultan mulai mendekat kepada rakyat. Pola administrasi yang sebelumnya mulai ditinggalkan, dengan dalih demokratisasi pemerintahan Sultan turun untuk mengetahui secara langsung keadaan rakyat. Implikasinya, rakyat merasa mendapat dukungan moral dari sultan dan hal ini juga mulai memberikan perubahan karena pembukaan ruang bagi siapapun.[4]
            Setelah memasuki era kemerdekaan, Yogya mulai menunjukkan geliat perubahan sosial yang gencar. Secara administrasi politi, Yogya sudah menjadi bagian dari Negara Indonesia, meskipun menjadi daerah Istimewa. Hal ini dilandasi oleh daerah Yogya yang berbeda dengan wilayah lain, karena Yogya adalah daerah independent sebelum indonesia merdeka. Sultan dari Yogya dan Pangeran Mangkunegaran sudah setuju untuk menjadi daerah administratif baru di bawah kesatuan negara Indonesia. Hal ini termaktub dalam undang-undang no. 3 tahun 1952.
Pemerintahan, Partai politik dan Masyarakat
            Perubahan di tingkat pemerintahan, secara langsung berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat di Yogya. Paska kemerdekaan, perubahan fungsi Sultan yang secara langsung memerintah terhadap rakyatya membuat beberapa kalangan di sekitarnya turut berubah. Seperti kalangan bangsawan, priyayi, kepegawaian, bahkan peran sultan pun turut berubah.
            Kalangan Priyayi mulai berubah, dari mulai tingkah laku hingga simbol priyayi pun berubah. Selo menggambarkan perubahan ini secara perilaku, ketika Bangsawan yang tergeser posisinya oleh kalangan intelektual, begitu pula dengan priyayi. Kalangan priyayi mulai merambah dunia intelektual agar statusnya sebagai kalangan atas tetap terjaga. Hal ini juga disampaikan Oleh Sartono dalam bukunya Perkembangan Peradaban Priyayi yang mulai bergeser secara konsep simblisnya. Lebih lanjut sartono membuat suatu definisi bahwa seorang Priyayi di jaman paska kolonial adalah orang-orang abdi ndalem dan para pegawai pemerintah serta kalangan Inteletual.[5]
            Perubahan di kalangan Priyayi sebenarnya adalah efek domino dari merosotnya strata kelas bangsawan.[6] Kelas bangsawan yang sebelumnya menempati kedudukan kedua setelah sultan menjadi merosot karena adanya pergeseran posisi sultan. Kalangan bangsawan yang sebelumnya memegang peran sebagai perantara anatara sultan dan rakyat menjadi kehilangan perannya ketika sultan menangani langsung urusan ini. Di bidang ekonomi mereka turut mengalami kemerosotan karena anggaran dari pemerintah dipotong sekaligus dampak dari infasi karena perang.
            Setelah kelas bangsawan mengalami kemerosotan kelas, pastinya ada kelompok lain yang menggantikannya. Kelas atas ini yang menggantikan adalah kaum intelektuil yang mendapat pendidikan dari Kolonial belanda. Kalangan ini sebelumnya menjadi pegawai dari pemerintah kolonial, yang mendapat pendidikan tinggi dari sekolah modern Hindia Belanda. Pandangan terhadap kalangan intelektuil oleh kalangan lain dianggap baik, karena mereka beranggapan bahwa kalangan intelektuil tahu apa yang dibicarakan.
            Dari perubahan-perubahan di atas, berimbas pula pada bagian yang lebih kecil lagi seperti bahasa, Status pegawai, dan pola pengambilan keputusan. Bahsa menjadi simbol stratifikasi sosial, ketika orang jawa memakai bahasa Belanda dan Melayu, mereka adalah orang-orang yang dianggap pantas dan memeiliki kedudukan yang tinggi. Bahasa jawa digunakan sebagai bahasa pengantar untuk kalangan jawa sendiri, maupun orang jawa rendah kepada orang belanda. [7]
Lain halnya dengan status pegawai dalam kehidupan sosial, apabila kalangan intelektual dianggap kelas atas baru, mereka masih menempati posisi yang sama. Meskipun mereka secara administratif berada di kelas atas, namun masyarakat masih memandang biasa, tidak ada kenaikan kelas apapun. Hanya penerimaan atas status mereka saja yang berubah.[8]
            Beralih ke partai politik, dengan status kemerdekaan yang sudah ada. Yogyakarta memasuki era baru. Ketika parpol-perpol bermunculan, terutama oleh Selo disebutkan PKI dan Gerinda yang mempengaruhi perubahan sosial secara signifikan. PKI yang berideologikan Komunisme membawa kesetaraan, hal ini ditunjukkan dengan dibukanya Istana untuk rakyat. Ini membawa perubahan tatanan masyarakat feodal yang tertutup menjadi terbuka. Contoh lain Gerinda, lebih terbuka lagi, ketika satu persatu rakyat dipersilahkan masuk ke dalam kamar pribadi pangeran untuk mendengarkan keluhan rakyat.
Perubahan Sosial dan Ekonomi
            Perubahan politis dan bersifat sosial diatas juga diikuti oleh perubahan di bidang ekonomi. Perubahan yang banyak dibidang pertanian, melalui Inovasi yang dicanangkan pemerintah dengan membrikan bibit-bibit baru. Pertanian jelas tidak terlepas dari Petani, hubungan antara petani dan lingkungannya turut berubah. Sebelumnya, Petani-petani di yogya hanya berorientasi pada bagaimana ia mendapat uang, hanya sampai pada tahap itu. Mereka tidak berorientasi pada mencari untung, ketika tengkulak Cina membeli hasil pertaniannya.
            Beralih ke Industri, sebagaimana di Indonesia yang sudah dimasuki modal asing, Yogya menjadi salah satu tempat penanaman moda asing tersebut berupa industri Gula. Industri gula yang ditangani oleh orang Belanda terhitung merugikan petani sendiri, karena seringkali terjadi kesalahpahaman dalam tanah, maupun hal yang berhubungan dengan petani. Berhadapan dengan organisasi raksasa, petani yogya yang hanya bertani untuk memenuhi kebutuhan, butahuruf, sekaligus tak terorganisasi menjadi lemah dan mudah ditindas. Penindasan ini berupa pengurangan hak petani atas air, tanah, maupun ketka perselisihan terjadi mereka akan dengan mudahnya ditindas melalui pamong praja.
            Industri gula memunculkan persepsi dari rakyat. Pandangan buruk sekaligus menarik ditunjukkan masyarakat. Beberapa diantaranya yang buruk karena upah dari industri gula dapat dikatakan jauh dari layak, karena dibawah “upah minimum” yang sekedar untuk menyambung hidup. Memang upah tersebut diatas dari upah dari pertanian pribumi, dan hal inilah yang mampu menarik masyarakat untuk bekerja di sini. Mayoritas masyarakat yang tertarik adalah dari kalangan yang tidak punya tanah. Kelas baru mulai muncul, yaitu kalangan buruh Industri.
Pendidikan dan Perubahan Sosial
            Setelah membahad Politik, sosial dan ekonomi, Selo menutup bukunya dengan bab tentang pendidikan. Pendidikan yang ada di yogya terbagi dalam beberapa periode yang sama seperti periode politik. Padad masa kolonial belanda, sistem pendidikan yang diterapkan memberikan status sosial yang tinggi sekaligus menjauhkan murid yang bersekolah di sekolah belanda dari rakyat. Mata pelajaran yang disampaikan dan bahasanya lebih banyak prosinya bagi Belanda dibanding Indonesia. Hal inilah yang membuat murid tertekan, selain karena sulitnya mata pelajaran, mereka semakin melebarkan jurang pemisah antara murid dan realitas masyarakat.
            Sedangkan di pihak lain, Sistem pendidikan islam di pesantren maupun madrasah, memiliki keunggulan lain yaitu diterimanya alumni tersebut di masyarakat. Selo menggarisbawahi bahwa ia tidak seding membandingkan antara mana yang superior dan inferior. Namun lebih kepada antara apa yang lebih baik dan apa yang diharapkan bagi masyarakat. [9]
            Sistem pendidikan belanda resmi dihapus ketika Jepang menduduki Indonesia, dengan dipakainya unsur-unsur kebudayaan Indonesia sebagai Landasan utama. Perubahan disini menyangkut alasan politis karena Belanda merupakan musuh Jepang, dan Jepang sedang membutuhkan simpati masyarakat untuk memenangkan perang. Untuk itu, dibutuhkan pembalikan ke-superior-an Belanda menjadi hal yang biasa dan diganti dengan kebudayaan Indonesia serta Jawa khususnya.
             Memasuki era kemerdekaan, Pemerintah yang sebelumnya dikekang oleh belanda kini bebas menerapkan kebijakan yang membela rakyat Indonesia. [10]Kebijakan yang ditempuh meliputi adanya Pendidikan terbuka dan sukarela, yang pastinya memiliki berbagai dampak yang ditimbulkan dari keterbukaan dan sukarelanya. Masyarakat berbondong-bondong menyekolahkan anaknya, baik itu yang baru lulus maupun yang sudah lama lulus baru sekolah lagi. Hal ini membuat jumlah siswa di Yogya membludak, sayangnya kuantitas ini tidak ditunjang pula dengan kualitas. Tak heran, jika banyak Sekolah swasta di yogya tidak pernah kekurangan siswa. Namun, ketika kuantitas ini tidak diiringi kuantitas lapangan kerja hasilnya banyak masyarakat di Yogya yang kecewa dan menggangur. Hal ini menambah masalah lagi bagi perekonomian di Yogya.
            Di Yogyakarta, Loyalitas kepada Sri Sultan masih kuat, dan ini menurut Selo mampu dipakai sebagai alat untuk menyatukan visi dan kebijakan ekonomi yang ditempuh Sultan. Sehingga terwujudlah masyarakt Yogya yang sejahtera. Kesimpulan yang ditarik oleh Selo dari penelitannya sebagai berikut. Pertama, Rangsangan yang kuat akan mampu mengubah masyarakt. Kedua, kekuatan luar akan mempengaruhi rakyat untuk kerjasama –kalau kerjasama- untuk menentramkan diri mereka sendiri. Ketiga, Orang-orang yang tertekan cenderung agresif melihat kesenjangan antara realita dan keinginan. Keempat, prubahan terjadi karena pemikiran. Dan beberapa kesimpulan yang bisa dimasukkan dalam empat kesimpulan di atas.
            Secara umum, Selo sudah menggambarkan masyarakat Yogya beserta perubahan sosial yang sudah terjadi. Kemungkinan besar, dibutuhkan beberapa perbaikan dan penelitian lebih lanjut untuk melengkapi penelitian ini. Karena masa penelitian ini sudah terhitung lama, yang mengharuskan untuk terus meneliti perubahan-perubahan sosial yang terjadi di masyarakat Yogya.



[1] Selo Soemardjan, perubahan Sosial di Yogyakarta,UGM Press, Yogyakarta; 1981, hlm. v
[2] Ibid, hlm. 14-15
[3] Ibid, hlm. 40
[4] Ibid, hlm. 103
[5] Sartono Kartodirjo, Perkembangan Peradaban Priyayi, ______,_______,_______, Yogyakarta, hlm. 6
[6] Selo Soemardjan, Op.Cit, hlm. 107
[7] Ibid, hlm. 113
[8] Ibid, hlm. 124
[9] Ibid, hlm. 284
[10] Ibid, hlm. 287

0 komentar: