Aku merasa heran, di tengah hiruk pikuk kota surabaya masih ada orang berumur setua ini masih mau menjalani hidup dengan bekerja keras. Sekedar info, aku memanggilnya Ayah, tanpa tahu siapa namanya. Aku paling suka ketika sebelum berangkat kuliah, menyeduh kopi dan membawanya ke depan teras rumah bersamanya menikmati kopi berdua sambil sesekali mengepulkan asap rokok. Ayah sering bercerita mengenai kisahnya dulu semasa remaja, kenakalan-kenakalan yang lumrah, kicah romantis pacaran waktu muda di masa revolusi (red:orde lama).
Tak jarang juga ayah menceritakan kesulitan hidup semasa peralihan orde lama-orde baru. Ia kelihatan sedih ketika bercerita masa-masa gestapu di surabaya. Aku pun tak berani angkat bicara, cuman mengepulkan asap rokok ke bawah, menunduk. Kemudian setelah mengenang sedikit masa kelam Ayah langsung mengalihkan perbincangan ke berbagai kesenangan dan kebijaksanaan hidup. Ia jarang sekali mengeluh mengenai masalah hidupnya, yang ia keluhkan ketika kawan sejamannya tak ikut menikmati hidup sebagaimana ia menikmati hidup.
Suatu kali di momen yang sama pagi hari sebelum aku berangkat kuliah, Ayah tak seperti biasanya. Ia seperti serius ingin menyampaikan sesuatu, "nak, ketika kau lulus jangan sampai kau lupakan Ayahmu ini, meskipun ayah bukan orang yang berilmu, jangan lupakan orang-orang yang tersisihkan, dan jangan sampai lupa bahagiakan dirimu, agar orang lain turut bahagia bersamamu" itu kata ayah. Aku yang sebelumnya mau menyulut rokok, hanya mendiamkan rokok tak tersulut di bibir. Oh ayah, terimakasih atas segalanya.
0 komentar: