Sastra
disusun oleh berbagai unsur, salah satunya adalah unsur estetik atau unsur
keindahan. Dalam kajian sastra, Nilai estetik menitikberatkan pada nilai intrinsik dalam karya sastra yang
menarik dan menyenangkan sehingga timbul keindahan.[1]untuk
meneliti nilai estetika dalam sastra ada beberapa teori yang dapat digunakan
sebagai pisau analisisnya.
Estetika
di era sekarang, terseret dalam percaturan post-strukturalisme.[2]apa
akibatnya? Nilai-nilai yang semakin mencair, memberikan keluasan penafsiran
atas sebuah teks. Mau tidak mau, estetika dianggap masuk dalam situasi “chaos”
yang tidak menentu, atau anomali.[3]Untuk
itu, banyak perangkat-perangkat analisis yang dapat digunakan dalam mengkaji
estetika pada suatu karya sastra. Selain daripada itu, untuk mengukur kualitas
estetika pada suatu karya juga dapat digunakan beragam cara.
Post-strukturalisme
memberikan keretakan-keretakan pada pola besar dalam menganalisis karya.
Keretakan ini berdampak pada intersubyektifitas pengkaji suatu karya untuk
menentukan kadar “ilmiah” atau “estetis” suatu karya tersebut. Maka dari itu,
untuk menganalisis karya sastra berbentuk novel sejarah dibutuhkan beberapa
perangkat analisis. Dari mulai memahami konteks sejarah yang ada dalam novel,
sampai basic penelitian sastra.
Karya
yang dipilih untuk dianalisis nilai estetisnya yaitu Novel Wasripin dan Satinah
karya Kuntowijoyo. Pemilihan ini berdasarkan pada kedekatan intelektual dengan
penulis yang berlatarbelakang Sejarawan. Kuntowijoyo semakin memantapkan diri
sebagai sejarawan sekaligus sastrawan dengan menuntaskan karya ini. Karya yang
patut untuk dikaji sebagai sastra maupun sejarah.
A. Nilai
Estetika yang terkandung dalam novel, diantaranya sebagai berikut:
1. Keluguan
tokoh
Wasripin
digambarkan oleh Kuntowijoyo sebagai pemuda yang lugu meskipun datang dari
Jakarta yang pindah ke desa. Di desa wasripin mendapat “pencerahan” melalui
alam ghaib sehingga ia memiliki “kekuatan” di luar kemampuan manusia lain.
Tokoh lain yang digambarkan oleh kuntowijoyo berperangai lugu dalam novel ini
adalah Satinah. Dia pemudi desa yang karena suatu “kecelakaan” rela menemani
pamannya mencari nafkah dengan bernyanyi dan menari dari panggung ke panggung.
2. Setting
waktu
Novel
ini menceritakan kisah di masa orde baru. Masa orde baru yang penuh represi dan
stabilitas digambarkan secara menarik dengan berbagai selingan humor. Kontrol
sosial yang ketat pada masa orde baru, dibuat secara menarik dengan beberapa
perubahan yang lucu. Anekdot yang dibuat oleh Kuntowijoyo mengenai partai di
masa orde baru salah satunya adalah Partai Randu sebagi satire salah satu
partai pada saat itu.
3. Kesederhanaan
tokoh
Wasripin
seorang pemuda yang tiba-tiba datang di desa itu, tanpa tanda pengenal
sebelumnya. Kondisi semacam itu, membuatnya sulit untuk mencari pekerjaan.
Tapi, wasripin pasca “pencerahan” seakan mendapat limpahan rezeki dengan
membantu orang. Seperti menyembuhkan sakit, baik sakit ringan sampai sakit yang
akut (dokter angkat tangan). Wasripin sebenarnya mudah saja untuk hidup
Parlente atau mewah, tapi tidak untuk wasripin. Wasripin hidup sederhana dengan
berbekal “pencerahan” dari kakek dalam mimpinya dan kebijaksanaan hidup dari
orang tuanya. Untuk itu, wasripin semakin disenangi oleh penduduk desa
tersebut.
4. Nilai
historis
Novel
ini bernilai lebih karena berlatar sejarah, sebuah novel yang menonjolkan sisi
masa lalu. Telah kita maklumi, bahwasanya masa lalu membuat kita untuk
bernostalgia. Nostalgia atas masa lalu membuat kita membongkar kenangan,
mencari remah-remah memori. Kenangan dan memori masa lalu yang kerap kali
membuat orang untuk senang, berlama-lama mengingatnya. Kenangan selalu dapat
membuat orang terlena, mengenang romantisme masa lalu, kejayaan, ketentraman.
Untuk itu, novel ini sebenarnya sudah punya modal awal yaitu suatu kisah
tentang masa lalu yang mengantarkan pembacanya untuk membongkar dan
mengimajikan masa lalu.
5. Konflik
Antar tokoh
Kuntowijoyo
secara apik memadukan antara tokoh dengan latar belakang powerless dengan
powerness. Wasripin, satinah dan orang-orang desa mewakili tokoh dari
latarbelakang powerless. Dalam artian, mereka tidak memiliki kuasa politik.
Selain itu, dapat diartikan powerless sebagai masarakat miskin modal. Menurut
analisis bourdieu, modal bukan hanya ekonomi, cakupanya meliputi modal sosial,
modal status.[4]
Wasripin dan koleganya secara modal ekonomi hanya dapat digunakan untuk
kebutuhan sehari-sehari. Lawannya, entitas powernees yang diwakili oleh
birokrat dari tingkat desa sampai tingkat atas (Suharto). Konflik ini diwarnai
dengan humor dan keluguan tokoh powerless, mereka mengandalkan massa untuk
melawan kekuatan yang dimiliki birokrat. Ketika wasripin dituduh bertindak
makar sebagai pemimpin maling, orang-orang desa mendemo danramil dengan membawa
massa yang banyak. Akhirnya, danramil menyatakan wasripin tak bersalah dengan
dukungan massa terhadap wasripin yang memang tidak bersalah.
6. Intrik-intrik
politis ala orde baru
Dalam
berbagai adegan dan bagian dalam novel ini mengangkat permasalahan politis.
Persoalan politis dalam novel ini berbeda dengan permasalahan politis saat ini,
karena yang diangkat adalah khas orde baru. Wasripin yang saat itu dicalonkan
oleh orang-orang desa sebagai kepala desa berusaha dijatuhkan oleh para
birokrat desa. Birokrat desa dengan usahanya menjegal langkah wasripin
menggunakan kuasanya sampai di tingkat kabupaten. Wasripin dituduh sebagai
penyebar ajaran sesat yang didukung oleh MUI daerah untuk memperkuat
tuduhannya. Unsur kolusi dan nepotisme disini terlihat jelas dengan pelibatan
berbagai pemangku posisi jabatan untuk mencapai kepentingannya. Nampaknya,
Kuntowijoyo sengaja untuk mengangkat unsur ini sebagai kritik halusatau mungkin
sinisme terhadap orde baru.
7. Idiom-idiom
unik
Salah satu unsur indah
dalam novel ini adalah dipergunakannya idiom-idiom plesetan semacam ludruk atau
ketoprak (jawa tengah). Seperti penyebutan Partai Randu untuk menyindir partai
Golkar, atau dipergunakanya singaktan-singkatan yang sebenarnya memang ada
namun kepanjangannya diubah. Contoh, LKMD yang sebenarnya memiliki kepanjangan
Lembaga keamanan desa diselewengkan menjadi Lamaran Kari Metheng Dhisik.
8. Lagu-lagu
jawa lama
Pengemasan lagu-lagu
dan kidung-kidung jawa secara proporsional melalui nyanyian-nyanyian yang
dibawakan oleh Satinah. Dari panggung ke panggung satinah menyanyikan lagu-lagu
jawa yang sudah jarang sekali kita dengar di era sekarang menyajikan kenangan
dan angan tersendiri. Khusunya kawula muda yang eranya “modern” semakin
meningglakan “tradisinya”. Novel ini ingin menggugah kembali kejayaan tradisi
jawa yang sempat “populer” di jaman awal kemerdekaan. Sebuah usah yang menarik
dengan menghadirkan tradisi yang dikemas secara halus disisipkan dalam
adegang-adegan tokohnya.
Korelasi
antara estetika sastra dan pesona sejarah
Diatas
dipaparkan beberapa nilai estetik non-sastra yang terdapat dalam novel
wasripin-satinah karya Kuntowijoyo. Bertolak dari uraian diatas, dapat
dijelaskan bagaimana novel bertemakan sejarah menarik untuk dibaca,
didiskusikan, dikaji, direfleksikan dan “diimplementasikan”. Konteks sejarah
yang diangkat oleh kuntowijoyo membuat novel ini semakin menarik. Kisaran masa
orde baru merupakan masa yang penuh dengan stabilitas yang cenderung represif.
Sebuah perlawanan kultural ingin disampaikan kuntowijdoyo melalui tokoh-tokoh
powerless-nya.
Duduk
permasalahannya bagaimana sebuah “sejarah” dikisahkan melalui sebuah novel.
Tentunya kadar “ilmiah” dari sejarah yang dituturkan dalam novel tidak
se-ilmiah ketika dinarasikan sebagai laporan penelitian. Namun, titik beratnya
bukan pada kadar ilmiah sebuah sejarah atau kadar obyektifitasnya. Penyampaian
melalui media (jenis tulisan, narasi) yang menarik patut diperhitungkan sebagai
upaya untuk menyampaikan sejarah agar dibaca, diketahui secara luas. Selain
beragam disiplin ilmu yang dikuasai, Kuntowijoyo juga dikenal sebagai sejarawan
yang berkualitas. Ia memilih novel untuk menyampaikan sejarah, mengemasnya
dengan kisah ringan dan pusat penokohan yang unik.
Melalui Novel,
Sejarah yang disampaikan lebih dinamis dan menarik dari sisi bahasa
pengantarnya. Melalui bahasa yang indah dan mudah dipahami, sejarah akan dapat
diterima secara luas. Novel Sejarah memiliki alur berdasarkan cerita yang tidak
harus sesuai dengan Fakta memberikan kemudahan bagi pembacaan. Unsur fiktif
dalam novel adalah unsur yang mudah berubah sesuai dengan pengaranganya. untuk
itu, Sejarah yang disampaikan dengan novel akan terasa lebih hidup dan menarik
sesuai bahasa pengantar dan alur yang menarik. Seringkali narasi sejarah gagal
dalam menyapaikan fakta sejarah, karena pengantarnya yang kurang hidup dan segar.
[1] Suwardi
Endraswara, Metode Penelitian sastra : Epistemologi, model, teori, dan
aplikasi, (Pustaka Widyatama, Yogyakarta: 2003), hlm. 69
[2] Agus
Sachan, Estetika, (Penerbut ITB, Bandung : 2002) hlm. 12
[3] Ibid.,
hlm. 13
[4] Pierre
Bourdiue, Uraian dan Pemikiran, (Kreasi wacana, Yogyakarta : 2011), hlm. 23
0 komentar: