Selamat sahur sidang pembaca yang budiman!! Maaf karena vacum lumayan lama, karena terkendala perihal bisnis kapal-kapalan (baca : secara ...

Sedihku, Metodeku

Selamat sahur sidang pembaca yang budiman!!

Maaf karena vacum lumayan lama, karena terkendala perihal bisnis kapal-kapalan (baca : secara letterlijk). kali ini aku, mau macak jadi mahasiswa sok rebel terhadap birokrasi kampus. Yaaah, sesekali lah, biar terhindar dari cap domba birokrat. 

Oke, langsung saja, kali ini aku sudah muak, benar-benar muak seperti muaknya kita melihat simbol-simbol religius di tipi-tipi saat ini. Sebentar-sebentar kok aku jadi mirip MABA yang baru kenal Marxisme ya? ah tak apalah. Baik, jadi masalahnya ketika esok tugas metode penelitian harus dikumpulkan minimal 40 halaman dengan ketentuan yang sama memusingkan dengan halamannya. kawan seangkatan, maupun yang ambil matkul ini sok jadi intelektual dan akademisi ulung. itu pandangan subyektifku sih.

pasalnya, mereka yang dulunya biasa-biasa saja, atau bahkan yang dulu ngetik tugas aja minta ampun susahnya kok ya sekarang ngumbreng-ngumbreng di grup membahas tugas yang satu ini. ada apa sebenarnya, tunggu dulu (sebagai klaim sepihak dariku, bahwa tulisan ini bukan untuk membela diri karena belum menyelesaikan tugas) Balik lagi, masalahnya tugas ini memang "sakral" menurut kelas mahasiswa semester 4.

Aku pengen bahas apa dibalik dari tugas "sakral" ini? apakah tugas ini begitu signifikan dalam kuliah? atau apakah tugas ini menjadi awal bagi mahasiswa sejarah menuju kelulusan? ah, atau kalian hanya takut kalau saja tugas ini tak dikerjakan, atau ikut-ikutan ngerjakan tugas ini kalian takut takkan dapat ijasah? santai bung, supersemar masih abu-abu.

Selama ini, ketika perkuliahan berlangsung 4 semester, rasa mengganjal benar-benar memuncak pada semester ini. aku dan beberapa kawan sejawat yang masih "sadar" bahwasanya kita (mahasiswa sejarah) semakin digiring menuju skripsi, cepat lulus, selesai. Setelah itu pilihan cuma dua, kalau gak jadi penghabis APBN (pengangguran) atau ya jadi tenaga kerja (terdidik).

Aku kagum dengan beberapa tokoh yang sanggup hidup "sukses" tanpa sehelai ijasah. atau ketika dia di dalam sistem, berani memberontak untuk mengkritik sistem yang sudah bobrok dengan menyebut kampus sebagai "peternakan". Bedanya hanya disini yang diternakkan adalah tenaga kerja (terdidik) yang dibayar UMR. Bagaimana tidak? kita dibebankan tugas yang disebut oleh dosen sebagai "mini skripsi". dari sebutannya saja sudah jelas, bahwasanya kita kuliah hanya disuruh untuk buat skripsi.

Lah kok ya dangkal banget gitu lho kalau kita kuliah macam itu, semacam gak ada asik-asiknya kita kuliah. Pikiran dan tenaga kita dikuras habis-habisan empat atau lima tahun hanya untuk skripsi. Kenapa gak sekalian aja, dari semester satu disuruh buat skripsi sampai empat tahun jangkep halamannya melebihi bukunya Denys Lombard (Nusa Jawa) atau "Indonesia dalam Arus Sejarah".

Waduh, terlalu berat ya? ya mungkin kalau kita disuruh buat skripsi dari awal minimal hasilnya setara bukunya pak Sartono lah, Ratu Adil, atau bukunya Iskandar Nugroho? masih gak kenal? ya ampun, Yasudahlah buku dosen kalian, Adrian Perkasa tentang majapahit? ah sudahlah kalian takkan sempat membaca, kalian kan sibuk nugas, lulus cepat, sekaligus pesi-pesi di IG atau Pet. 

Sudahlah, maaf ya, aku sibuk, bisnis kapal-kapalan sambil lihat kalian di grup mempermasalahkan tentang marginnya berapa, dikumpulkan kapan dan pertanyaan bodoh kalian.

1 komentar:

  1. Aku malah sebaliknya, cahaya ide seakan meredup dalam kepala ini. Ah entahlah. Apakah ini kepala ataukah dengkul. Hanya yang maha menilai yang berhak menjawabnya

    BalasHapus