Oleh Listiyono Santoso
Lebih dari satu dasawarsa terakhir, kajian poskolonial
telah muncul sebagai titik temu dan medan pertarungan bagi beragam disiplin dan
teori. Sementara ia memungkinkan terjadinya dialog interdisipliner yang
kompleks dalam ilmu-ilmu kemanusiaan, penggabungannya yang sulit dari
teori-teori yang saling bertentangan seperti Marxisme dan postrukturalisme –
membaurkan banyak keseragaman pendekatan. Sebagai konsekuensinya, terjadi konsensus
kecil mennnegenai isi, ruang lingkup dan relevansi yang sesuai dari kajian-kajian
poskolonial. Ketidaksepakatan yang muncul dari penggunaan dan metodologi
terefleksikan dalam perselisihan semantik (the
semantic quibblingI) yang membayangi upaya-upaya untuk menyebut terminologi
poskolonial. Sebagian kritikus menyatakan bentuk “poskolonial” dengan tanda
hubungi sebagai penanda temporal yang menentukan proses dekolonisasi, kritikus
yang lain secara sengit mempertanyakan pemisahaan kronologis yang
diimplikasikan antara kolonialisme dan akibatnya – karena alasan-alasan bahwa
kondisi poskolonial diawali dengan serangan (onset) ketimbang berkhirnya pendudukan kolonial. Oleh karenanya,
menurut mereka istilah “postkolonialisme” yang tak terpisah jauh lebih sensitif
terhadap sejarah panjang dan pelbagai konsekuensi kolonial.
Mengenai catatan yang berbeda meskipun berkaitan,
beberapa teoretisi merumuskan sebuah preferensi bagi penadaan eksistensial
tentang “poskonlonial” atau tentang “poskolonialitas” yang melampaui sugesti
dogma akademik yang melekat pada gagasan tentang poskolonial-isme. Pada intinya, kontroversi seputar
kosakata poskolonial menggarisbawahi adanya kebutuhan untuk membedakan dan
mengklarifikassi hubungan antara cognate
material dan analitik dari kajian-kajian poskolonialis. Dalam berbagai momennya
yang lebih refleksif, kajian poskolonialis merespons kebutuhan ini dengan
mempostulatkan dirinya sebagai suatu upaya teoretis untuk memahami kondisi
kesejarahan partikular. Teori itu mungkin disebut ‘posklonialisme’ dan kondisi
yang dirujuknya lebih tepat disebut dengan gagasan ‘poskolonialitas’.
Dalam respons mereka terhadap ambiguitas-ambiguitas
kemerdekaan nasional, para penulis seperti Memmi dan Said menegaskan bahwa
dampak kolonial tidak terjadi pada akhir masa penjajahan. Meskipun nadanya
membuat hati kecut, pernyataan ini benar-benar didasari oleh hasrat yang sangat
lembut untuk meredakan berbagai kekecewaan dan kegagalan yang muncul dari mitos
poskolonial tentang pemisahan radikal dari Eropa. Awalan “pos”, sebagaimana
ditulis oleh Lyotard, mengelaborasi keyakinan “bahwa yang mungkin dan yang
pasti harus berusaha untuk memutuskan hubungan dengan tradisi dan memunculkan
cara-cara kehidupan dan pemikiran yang baru sama sekali”.
2.2 Tokoh
Tokoh Poskolonialisme
2.2.1 Edward
Wadie Said
Edward
Wadie Said lahir pada tanggal 1 November 1935 di Yerusalem. Sedangkan meninggal di New York, 25 September 2003 pada umur 67 tahun) adalah seorang
intelektual Palestina-Amerika
yang meletakkan
dasar-dasar teori kritis di bidang poskolonalisme. Lahir sebagai seorang Arab Palestina di masa kekuasaan Inggris, Said mendapat
kewarganegaraan Amerika dari ayahnya. Ayahnya adalah seorang saudagar kaya.Ia
menghabiskan masa kecilnya di Yerusalem dan Kairo, dimana ia belajar di sekolah-sekolah
elit Inggris. Said kemudian pindah ke Amerika Serikat, dimana ia meraih gelar
sarjana dari Universitas
Princeton dan doctor dalam bidang
sastra Inggris di Universitas Harvard. Ia kemudian mengajar di Universitas Columbia sejak 1963, dan mendapat gelar professor
dalam sastra Inggris dan perbandingan
sastra pada 1991.Edward Said merupakan seseorang yang terkenal
dengan penggunaan konsep Orientalisme ini adalah sebuah persepsi gambaran
tentang penggambaran antara dunia barat dan dunia timur dia berpendapat bahwa
orientalisme tidak lepas dari masyarakat imperial yang menitikberatkan
pemikiran politis yang menghamba kepada kekuasaan. Karyanya banyak
berpengaruh terutama dalam ilmu kebudayaan,sastra dan dia punya pengaruh dalam
transformasi di timur tengah sebagai seseorangyang mempunyai intelektual dia
mengajukan sebuah pendirian Negara palestina ia juga menuntut agar amerika
mendesak Israel dalam menghormati hak-hak itu. Said digambarkan sebagai "suara politik
rakyat Palestina yang paling keras" oleh oleh jurnalis Robert Fisk. Said
kerap mendiskusikan subyek kebudayaan yang terkandung dalam orientalisme
terutama yang diterapkan dalam ilmu sejarah dan studi area walau bagaimanapun,
beberapa cendekiawan tidak sepakat dengan teori ini.
2.2.2 Franz Fanon
Lahir 25 Juli 1925, Fanon tumbuh di Fort-de-France,
Martinique. Awalnya ia terdorong untuk menolak jatidiri sebagai orang
Martinique dan Afrika dan lebih suka meenerima warisan kolonial Prancis. Di
sekolah, ia di bawah pengaruh Aime Cesaire dan ide tentang Negritude. Hal ini membuatnya bangkit dan menemukan kembali warisan
antikolonial dan darah Afrika yang ia harus menerimanya. Dalam Perang Dunia
Kedua, dan kenemukan bertugas untuk tentara Perancis di Aljazair, Fanon
menyaksikan dengan mata dan perasaan sendiri kekuatan yang merusak dari rasisme
dan kolonialisme Perancis. Ialu membawa pulang batas-batas universialisme
Perancis.
Setelah
mendapat gelar dokter psikiatri, ia bertugas di rumah sakit jiwa di Blida,
Aljazair, yang kal itu di bawah kekuasaan kolonial Perancis. Simpatinya bergeser
cepat ke mereka yang melawan penjajahan brutal Perancis. Fanon membela gerakan
anti-kolonial (Front de Liberation
Nationale) dalam berbagai kapasitas sampai ia didiagnosis menderita
leukimia. Setelah dengan enggan mau ke Amerika Serikat untuk pengobatan, Fanon
akhirnya meninggal di Washington D.C. pada 6 Desember 1961.
2.2.3
Homi Bhabha
Homi K. Bhabha (hahir 1949) adalah seorang profesor dalam bidang literatur Amerika dan Inggris, dan bahasa di Anne F. Rothenberg, juga adalah
direktur dari Pusat studi Kemanusiaan di Universitas Harvard.[1] Dia adalah salah satu tokoh terkenal dalam disiplin
studi postkolonial.[1] Sumbangannya dalam bidang literatur tampak pada
penciptaan istilah-istilah baru, konsep istilah, seperti pemaduan kata,
pengulangan kata, perbedaan kata, dan ambivalensi.[1] Kata-kata yang ia garap berhubungan dengan gambaran
masyarakat yang menolak diskriminasi, penindasan dan penjajahan.[1] Pada tahun 2012, dia mendapatkan penghargaan
dari pemerintah India dalam bidang literatur, yaitu the Padma Bhushan awal. Pemikirannya mengenai poskolonialisme
dan ruang ketiga.
Untuk pembahasan Selanjutnya di Postingan lain, tentang Orientalisme dan Oksidentalisme
0 komentar: