Saat itu, negeriku termasuk dalam wilayah kekuasaan Ratu Wilhelmina, dengan Gubernur Jendral signore (sinyo orang jawa menyebutnya) gagah tur ganteng. Tenaga-tenaga "terbaik" (mungkin dari yang terburuk) dikirim dari negeri bawah air ke negeriku untuk mengurus masyarakat tak "beradab". Dengan kebijakan Binnenlandsch bestuur-nya Ratu kepengen masyarakatnya beradab dengan memasok tenaga dari negerinya untuk di tempatkan di kursi-kursi Beambten staat dan Ambtenaar. Keren-nya mereka berhasil "memaju-pesatkan" negeriku dari yang tak "beradab" menuju "beradab". Ekonomi negeriku yang sebelumnya hanya mengenal upeti dan sedekah raja menjadi kenal akan upah, bunga, dan modal. Negeriku juga jadi kenal akan pendidikan formal, buku, baca-tulis, hebat bukan? Masyarakatku jadi bisa ngerti melawan (bughot) ratu (penguasa). Keren bukan? Negeriku juga jadi kenal radio, kotak hitam bersuara yang memberikan informasi dari penjuru dunia.
Namun sayangnya, negeriku sekarang berbalik seperti dulu kawan, negeriku yang elok, tenteram dengan segala kearifannya (local wisdom), dengan kecerdasannya (local genius) sedang mengalami neo-kolonialisme yang merongrong sendi-sendi kehidupan. Penguasaku tunduk oleh negeri lain, pengusahaku berhutang ke negara lain, kapitalis-kapitalis negeriku bergantung modal asing, tentara-tentara negeriku di-spionase negara lain, akademisi dan intelektual negeriku sibuk menimba teori ke negeri (yang dibuat di negeriku), Ulama-ulamaku sibuk mengurus Halal-haram, wahai Prabu Airlangga, Rakai Pikatan, mahapatih Gajahmada, mahapatih Narotama, kemana sukmamu? Mana tulah-mu? Aku menuntut keadilan di negeri warisanmu, jangan kau lepaskan negeriku dengan orang-orang mancanagara (sebutan yang keluar masa majapahit untuk wilayah luar nusantara). Wahai aku, dimana kau? Disini, berdiam menonton negeriku ber-metaformosis menjadi ngeriku.
0 komentar: