AL-Muhafadhotu ‘ala Qodiimis-sholih wa Al-akhdu bil jadiidil ashlah , mengutip salah satu kaidah yang dirumuskan oleh para fonding fath...

Semangat Rennaisans NU



AL-Muhafadhotu ‘ala Qodiimis-sholih wa Al-akhdu bil jadiidil ashlah, mengutip salah satu kaidah yang dirumuskan oleh para fonding father NU, penulis ingin merefleksikan kaidah ini untuk melawan amnesia sejarah. Menjaga tradisi-tradisi yang baik dan menerima kemodernan yang lebih baik untuk menjadikan Nahdlatul Ulama’ (NU) sebagai pelopor organisasi sosial keagamaan terbesar agar tetap eksis di Indonesia. Menjaga nilai-nilai tradisi dan budaya khas nusantara untuk dikombinasikan dengan semangat pembaharuan adalah suatu rumusan yang cemerlang.
            Forum pertemuan nahdliyyin 5 tahunan yang “bergengsi” dalam tubuh NU semakin dekat, forum akbar ini, merupakan momen yeng penting untuk kembali merevitalisasi nilai-nilai Ke-NU-an yang sudah tereduksi oleh berbagai hal  yang bersifat materi. Diperlukan suatu peninjauan kembali kepada khittah NU seperti ketika muktamar diadakan di situbondo yang menghasilkan suatu keputusan strategis mengenai progres NU kedepan yakni kembali ke Khittah 1926. Kembali kepada khittah NU 1926 berarti NU kembali kepada kepribadiannya yang komprehensif, baik dari segi aqidah, muamalah, syariah, manhaj (paradigma), juga hubungan tata masyarakat dan hubungan masyarakat dan agama seperti yang dituturkan Hasyim Muzadi (Halaqoh Nasional 11 Juni 2014).
            Muktamar NU ke-27 yang diadakan di situbondo sempat memanas akibat perbedaan dan pertentangan berbagai kubu dalam tubuh NU. Pergulatan pemikiran yang berbeda antara penerimaan pancasila sebagai asas organisasi dan juga penolakan. Keputusan akhir menghasilkan suatu terobosan baru dalam tubuh NU, yang lebih dikenal dengan khittah NU 1926 yang berarti kembalinya NU menjadi organisasi yang bergerak dalam bidang sosial keagamaan melepaskan diri dari politik praktis. Achmad shiddiq terpilih sebagai Rais ‘Aam dan Abdurrahman Wahid sebagai ketua Tanfidhiyah telah membuka keran pemikiran baru bagi dinamika pemikiran NU. NU sudah tidak menjadi Parpol, dengan semangat kembali menelisik sejarah tujuan dibentuknya organisasi ini, suatu terobosan penting untuk menerima pancasaila sebagai asas organisasi adalah suatu pencapaian penting dalam organisasi ini.
            Muktamar kali ini juga mempunyai peranan penting dalam menyambut 100 tahun NU berdiri di bumi nusantara. Nahdlatul Ulama’ tidak dapat disangkal menjadi organisasi islam terbesar secara kuantitas, namun hal ini tidak diiringi dengan kualitas anggotanya. Hal ini pula yang menjadi sorotan berbagai kalangan diluar organisasi maupun dari dalam sendiri. Secara kualitas intelektual maupun ekonomi NU mengalami stagnansi, disebabkan oleh ketidakmeratanya persebaran kualitas intelektual dan ekonomi, yang hanya dirasakan oleh pemegang pucuk kekuasaan NU.
            Dengan mengusung tema “Islam Nusantara, merawat Indonesia, untuk membangun peradaban dunia”, NU ingin menegaskan kembali peranannya sebagai organisasi islam indonesia. “kita ini orang indonesia yang beragama islam, bukan orang islam yang kebetulan tinggal di Indonesia” ungkap Musthofa bisri (Rais ‘Am PBNU). Islam nusantara yang dimaksud ialah islam ahlussunnah wal jama’ah yang menjaga nilai-nilai tradisi dan kebudayaan nusantara tanpa menghilangkan kemurnian islam sendiri. Konsekuensinya, kita harus bisa memilah mana yang benar-benar ajaran islam, mana yang bias tradisi dan budaya arab.

Islam Nusantara, merawat Indonesia
            Nusantara sebelum dimasuki oeleh agama islam merupakan suatu bangsa besar yang memiliki keunggulan peradaban di banding dengan bangsa lain. Melalui peninggalan sejarah dan budaya yang sampai saat ini dapat dirasakan eksistensinya. Setelah agama islam masuk melalui berbagai jalur perdagangan maupun oleh wali songo, nusantara memasuki babak baru sebagai bangsa yang sebagian besarnya memluk agama islam dengan memegang teguh akar budayanya. Nusantara dengan pelbagai kekayaan tradisi dan budayanya yang sudah mengakar bersinergi dengan agama islam menghasilkan embrio cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama’ (NU).
            NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang berasaskan tradisi nusantara, memegang peranan penting sebagai penjaga kultur dan tradisi masyarakat Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan amaliyah warga NU (Nahdliyyin) yang sarat akan kultur dan tradisi nusantara, namun tetap beresensikan islam. NU menjadi pemelihara kultur dan tradisi bangsa indonesia agar tidak tercerabut dari akar budayanya, melalui penolakan terhadap westernisasi dan juga arabisasi yang kian gencar menyerang bangsa indonesia. NU mempunyai sikap kemasyarakatan yang termaktub dalam khittah NU 1926 yaitu, tawassuth (moderat) dan i’tidal (lurus), tasammuh (toleran) serta tawazzun (seimbang). Tidaklah salah NU menghargai dan memelihara budaya dan tradisi bangsa indonesia sebelum masuknya islam.
            Sikap NU yang toleran dan moderat seharusnya dimanifestasikan dalam berkehidupan dan bermasrayarakat secara total, untuk mewujudkan Indonesia yang maju. Upaya merawat Indonesia sudah dilakukan melalui berbagai amaliyah keseharian nahdliyyin, namun ada kelemahan dalam pelaksanaan amliyah ini. Tidak adanya upaya pembaharuan menjadikan proses merawat menjadi stagnan. Hal ini tudak dapat dibiarkan terus-menurus apabila tidak ingin NU menjadi organisasi islam yang terjebak dalam kejumudan dan kekolotan. NU harus terus bergerak dinamis mengikuti perkembangan dan tantangan jaman yang semakin modern dengan tetap mempertahankan budaya dan tradisi khas nusantara. Inilah yang menjadi nafas inti dari kaidah diatas mengenai upaya merawat ddan menjaga tradisi yang baik dengan semangat modernisasi dan pembaharuan untuk lebih baik.
Menuju Peradaban Dunia
            Tidak dapat dipungkiri, peran sentral pemimpin dalam kemajuan organisasi, untuk menjawab tantangan kedapan, melalui muktamar ke-33 ini, diperlukan seorang nahkoda yang revolusioner dalam menahkodai NU. Sosok yang menguasai ilmu agama, ilmu sosial dan mengetahui secara mendalam akar budaya dan tradisi indonesia serta dapat mengkomunikasikan dengan perubahan jaman yang akan membawa kemajuan pada NU dan Indonesia di mata dunia.
            Masa rennaisans NU berawal ketika di ketuai oleh abdurrahman wahid (Gus Dur), NU bangkit dari  keterpurukan (masih menjadi parpol) untuk kembali pada “rel”-nya sebagai organisasi sosial keagamaan. NU berkembang pesat secara intelektual dan ekonomi, melalui pembebasan dan pengkreatifan berpikir kaum muda yang melepaskan NU dari stagnansi. Gus Dur mampu mengonsolidasikan kaum muda dan kaum tua untuk bersama memajukan NU. NU dikenal dunia melalui beliau sebagai organisasi islam yang toleran dan tidak radikal. Pada kondisi sebelumnya, NU hanya dikenal sebagai kumpulan orang-orang kolot yang terjebak dalam kemistikan dan kejumudan.
            Agaknya dalam menyambut muktamar ini, diperlukan suatu peninjauan sejarah muktamar di situbondo sebagai titik tolak jaman rennaisans NU. Mengambil dan merefleksikan nilai-nilai semangat kemajuan untuk di manifestasikan dalam muktamar yang akan datang. Semoga dengan mengusung tema “islam nusantara, merawat indonesia menuju peradaban dunia” mampu membawa NU menjadi ikon pelopor islam “senyum” menuju peradaban dunia. secara pribadi berkeyakian NU akan bangkit kembali menuju peradaban dunia. Akankah sejarah terulang kembali?

0 komentar: